Hukum Puasa Yang Tidak Terbayar. Rasa syukur dirasakan umat muslim karena masih diberikan kesempatan untuk menjalankan ibadah puasa dan beramal sebesar-besarnya dalam akhlak, perbuatan dan doa.Mengingat kembali bulan Ramadan di tahun sebelumnya, syukur jika hari-hari puasa dijalani dengan sempurna tanpa ada satu hari pun yang batal. Terlebih dalam hal ini, utang puasa adalah utang kepada Allah.Seseorang tentu wajib membayar utang kepada Allah, karena utang ini lebih penting daripada utang kepada sesama manusia.
Hukum melaksakana puasa Ramadhan ini wajib bagi orang islam yang telah dewasa (baligh), berakal, sehat, muqim (tidak sedang bepergian jauh), kuat, serta suci dari haid dan nifas. Namun ada beberapa golongan yang diperbolehkan untuk meninggalkan puasa, di antaranya adalah:. Musafir atau orang yang bepergian jauh Wanita hamil, melahirkan dan menyusui.
Akan tetapi hal itu dianggap sebagai hutang dan wajib dibayar setelah ramadhan berakhir. Penting diingat, terdapat hari-hari tertentu yang diharamkan bagi umat muslim untuk berpuasa. Lalu bagaimana jika sampai bulan suci berikutnya tiba ternyata masih ada utang puasa yang belum terbayar? Ada beberapa orang yang tidak sempat membayar hutang puasanya dikarenakan udzur tertentu. Misalnya sakit parah selama setahun, hamil 9 bulan, menyusui, lupa atau hal lain diluar kemampuan, maka ia berkewajiban mengqadha (membayar hutang puasa) setelah Ramadhan berikutnya. Imam ibnu Baz rahimahullah pernah menjelaskan tentang kewajiban seseorang yang sakit dan tidak bisa membayar hutang puasanya:.
Ada perbedaan pendapat dari para ulama mengenai membayar fidyah untuk hutang puasa. Menurut beliau tidak ada sabda rasulullah Saw yang menjelaskan secara gamblang tentang kewajiban membayar fidyah. Ulama dari golongan hababilah, syafi’iyah dan malikiyah berpendapat bahwa seseornag yang belum membayar hutang puasa hingga tiba ramadhan, maka wajib baginya untuk membayar denda (kaffarah) berupa fidyah atau makanan pokok kepada kaum fakir-miskin.
Besar fidyah yang dibayarkan harus disesuaikan dengan jumlah hari ia tidak berpuasa. Bagi orang-orang yang hutang puasanya terlampau banyak dikarenakan ia terkena udzur, misalnya hamil atau menyusui selama bulan puasa atau orang berusia lanjut yang lemah, maka mereka diperbolehkan membayar fidyah saja.
Demikianlah pendapat para ulama mengenai tata cara membayar utang puasa yang sudah lewat hingga Ramadhan berikutnya.
Ketika berbicara soal mengganti utang puasa tentu berkaitan dengan alasan mengapa Bunda harus membatalkan puasa.Dijelaskan Ketua Pimpinan Pusat 'Aisyiyah, Dra. "Menurut Shoimah, Allah bersifat Arrahman dan Arrahiim, sehingga dalam melaksanakan ibadah dikehendaki sifat kemudahan. Kedua, membayar fidyah terutama untuk orang-orang yang sakit secara permanen, sehingga tak memungkinkan menggantinya dengan puasa.Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana mengganti puasa seharusnya?
Namun jika dilakukan segera akan lebih baik.Dalam surat Al-Mukminun ayat 61 disebutkan,(أُوْلَٰٓئِكَ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَهُمۡ لَهَا سَٰبِقُونَ (61"Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya".Jika Bunda mengalami kesulitan sepanjang tahun sehingga utang puasa tahun lalu belum lunas hingga tiba bulan Ramadhan berikutnya, jangan khawatir, Bun.Masih ada keringanan sehingga Bunda hanya diperintahkan menyempurnakan jumlah puasa dan tidak dituntut lebih seperti melipatgandakannya karena telat membayar. Zainudin Hamidi dkk, Terjemahan Hadis Shahih Bukhari, Jilid II, wijaya, Jakarta, 1986Bunda simak juga yuk rahasia diet puasa dalam video di bawah ini:.
Mereka yang meninggalkan puasa Ramadan, terkena kewajiban untuk meng-qadha atau mengganti di bulan selain Ramadan. Berikut 2 hal yang harus dikerjakan apabila memiliki utang atau qadha puasa Ramadan:.
Saya masih memiliki utang puasa Ramadhan tahun lalu yang belum selesai diqadha selama empat hari lagi. Hal ini berdasarkan firman Allah, "Maka barang siapa di antara kamu sakit atau sedang dalam perjalanan (lalu tidak berpuasa) maka hendaklah ia menghitung (hari-hari ia tidak berpuasa itu untuk diganti) pada hari-hari yang lain.".
Maksudnya, pernyataan itu tidak disertai keterangan kualifikasi yang membatasinya, misalnya, batasan hanya hari-hari sebelum Ramadhan berikutnya tiba. Hadis ini menunjukkan keinginan Aisyah untuk cepat membayar utang puasanya, namun ternyata tidak bisa karena kesibukannya bersama Rasulullah SAW dan baru bisa mengqadhanya pada bulan Syakban karena pada bulan ini Rasulullah SAW sendiri banyak berpuasa. Banyak ulama menjadikan hadis ini sebagai dasar pembatasan waktu qadha utang puasa sebelum datangnya Ramadhan berikutnya.
Konsekuensinya apabila tidak dibayar sebelum datangnya Ramadhan berikutnya dikenai kewajiban membayar fidyah di samping tetap wajib qadha.
Lantas bagaimana aturannya bila seseorang punya hutang puasa, namun tidak dibayar-bayar sampai lewat Ramadhan berikutnya? Dalam hal ini seluruh ulama sepakat bahawa hutang puasa itu tidak gugur, walaupun sudah lama terlewat dan belum dibayar dengan qadha’. Bahkan hutang puasa ini tidak boleh ditukarkan menjadi bentuk lain seperti sedekah atau memberi makan fakir miskin, selagi masih sihat dan mampu berpuasa.
Maka bila masih sihat dan ada usia, segeralah bayarkan hutang qadha’ puasa itu secepatnya. Dalam hal ini harus berlumba dengan malaikat Izrail, agar jangan sampai dia datang dahulu, sementara hutang puasa masih banyak. Namun mereka agak berbeza pendapat kalau kasusnya hutang puasa tidak dibayarkan, hingga lewat setahun sampai bertemu lagi bulan Ramadhan di tahun kemudian.
Apalagi bila bukan cuma setahun tetapi bertahun-tahun lamanya hutang puasa itu masih belum dibayarkan. Menurut mereka tidak boleh kita mengqiyas ibadah puasa seperti yang dilakukan oleh pendukung pendapat di atas. Buatlah list di atas catatan, isinya barisan nombor, hari ke berapa, dan tanggal pelaksanaan.
Yang penting setiap kali selesai satu hari puasa, contenglah catatan itu serta beri tanggal pelaksanaannya. Yang penting dan paling utama adalah bagaimana agar jumlah hutang puasa boleh tertutup hingga selesai.
Apalagi kalau boleh lebih banyak bersedekah, tentu pahalanya akan kita nikmati sendiri di akhirat. Pesan saya, sebaiknya semua oleh selesai selagi kita masih segar bugar, sihat wal afiat dan tentu saja sebelum ajal datang menjemput.
Dalam ilmu ushul Fiqh, disebut dengan istilah wajib Muwassa’ yaitu kewajiban yang waktunya panjang. Dalam syariah, wajib muwassa’ ini adalah kewajiban yang boleh ditinggalkan dengan syarat ada azam untuk melakukannya di kemudian hari sampai batas akhir waktunya, seperti shalat lima waktu. Karena waktu shalat zuhur yang cukup panjang, yaitu sekitar tiga jam setengah sehingga seorang muslim boleh meninggalkan sholat zuhur di jam 12.00 wib, dan dia tidak berdosa dengan syarat dia harus berazam mengerjakannya di waktu selanjutnya, misalnya pukul 13.00 wib. Sedangkan menurut Madzhab al-Malikiyah, puasa sunnah bagi yang belum membayar hutang Ramadhan maka hukumnya makruh.
Sehingga mereka yang masih punya hutang kewajiban Ramadhan, tidak ada kesunahan puasa sunnah, justru itu menjadi keharaman.
Mungkin ada beberapa dari Anda yang belum sempat qadha puasa sampai bulan Ramadhan datang lagi. Dalam artikel berformat tanya jawab ini ada yang bertanya terkait konsekuensi bila seseorang telat mengqadha puasa wajib hingga Ramadhan tahun depan tiba. Tetapi kalau ia hidup membaur dengan ulama karena samarnya masalah itu tanpa fidyah, maka ketidaktahuannya atas keharaman penundaan qadha bukan termasuk uzur.
Asal tahu, beban fidyah itu terus muncul seiring pergantian tahun dan tetap menjadi tanggungan orang yang yang berutang (sebelum dilunasi),” (Lihat Syekh M Nawawi Banten, Kasyifatus Saja ala Safinatin Naja, Surabaya, Maktabah Ahmad bin Sa‘ad bin Nabhan, tanpa tahun, halaman 114). Dari keterangan Syekh Nawawi Banten ini, kita dapat melihat apakah ketidaksempatan qadha puasa hingga Ramadhan berikutnya tiba disebabkan karena sakit, lupa, atau memang kelalaian menunda-tunda.
Menjawab pertanyaan itu Ustaz Adi Hidayat Lc, MA menjelaskan bahwa para ulama sepakat setiap puasa yang pernah tertinggal, hukumnya wajib di qadha. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu), memberi makan seorang miskin. Mayoritas ulama berpendapat menggabungkan keduanya (qadha puasa dan bayar fidyah)," jelas Ustaz Adi.Ustaz Adi melanjutkan, sementara itu pendapat berbeda disampaikan oleh Imam Abu Hanifah.
Sekalipun qadha yang diutamakan, bukan fidyah-nya," paparUstaz Adi.Meski ada perbedaan, Ustaz Adi menyerahkan sepenuhnya keyakinan pada individu masing-masing.