Hukum Puasa Saat Wanita Haid. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menegaskan perempuan dilarang melaksanakan puasa Ramadhan saat datang bulan atau haid. Ketentuan itu sudah dijelaskan dalam hadis Nabi dan ijma atau konsensus ulama seluruh dunia. Ada hadis diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Siti Aisyah bahwa 'kan kami pernah datang bulan atau haid itu kami tidak mengkada salat, tapi harus mengkada puasa' artinya Siti Aisyah tidak berpuasa pada saat datang bulan," kata Ketua PBNU, Masduki Baidlowi, kepada wartawan, Minggu (2/5/2021).
Masduki mengatakan aturan mengenai perempuan haid dan puasa itu memang tidak ada dalam Al-Qur'an. Dia menegaskan ada dua hadis yang sahih mengenai perempuan dilarang puasa saat haid.
Meski dilarang berpuasa, tapi bukan berarti wanita yang haid tidak bisa mendulang pahala di bulan Ramadan. 5 Amalan yang Bisa Dilakukan Wanita Haid Saat Puasa Ramadan.
Suara.com - Bagi wanita yang mengalami haid di bulan Ramadan, haram hukumnya untuk berpuasa. Ibadah puasa seorang perempuan otomatis batal ketika keluar haid sebelum tiba waktunya berbuka. Menyadur dari NU Online, dalam kitab Taqrib disebutkan bahwa selain diharamkan berpuasa, wanita yang sedang haid juga dilarang untuk salat, membaca Al-qur'an, menyentuh dan membawa mushaf, masuk masjid, thawaf, jima, dan bersenang-senang di sekitar organ kemaluan. Sedangkan Mazhab Hambali membolehkan wanita haid beritikaf di masjid. Lantas, apakah itu berarti wanita tidak bisa mendulang pahala selama bulan Ramadan? Jawabannya, wanita haid tetap bisa mendapat pahala saat bulan Ramadan.
Selain bisa diniati sebagai ibadah, mencari ilmu juga memberi manfaat yang besar.
Solopos.com, SOLO – Puasa merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tidak memiliki halangan syar’i. Dengan demikian jelas sudah wanita yang haid tidak boleh puasa, meski beberapa menit lagi masuk waktu berbuka. Ketika haid terjadi saat Ramadan, maka dia tidak boleh salat dan puasa.
Haid tentu tidak menjadi halangan bagi seorang muslimah untuk menambah pengetahuan selama Ramadan. Janda Tua Sebatang Kara di Kampung Sidomulyo Sragen Ngaku Tak Pernah Dibantu Pemerintah. Selain itu, wanita haid juga bisa bersedekah untuk menambah pahala di bulan suci.
Dia juga bisa memberikan makanan untuk orang yang berpuasa di waktu berbuka. Tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun,” demikian bunyi hadis riwayat Tirmizi.
Saat sedang haid, Bunda dilarang salat dan berpuasa karena masih dalam keadaan tidak suci. Tidak hanya dilarang salat dan berpuasa, Bunda juga tak boleh menyentuh kitab suci Alquran. Cholifah Syukri, MSi,Hal mengatakan bahwa dalilnya tertuang dalam surat Al-Waqi'ah ayat 77 sampai 80 yang berbunyi sebagai berikut, Bunda:.
Berdasarkan hadits riwayat Muslim, Cholifah mengatakan bahwa Aisyah pernah bercerita jika Nabi Muhammad SAW selalu menyebut Allah SWT (berzikir, membaca Al Quran) dalam segala keadaan. Hal ini menunjukkan kalau sebenarnya tidak adanya larangan bagi orang yang sedang berjunub untuk menyebut nama Allah SWT, Bunda. "Dan Aisyah ra.ia berkata : "Adalah Nabi saw.menyebut nama Allah dalam segala hal," (HR. Lebih lanjut, Cholifah menegaskan bahwa hukum wanita haid membaca Alquran diperbolehkan, saja asal tidak bermaksud untuk mencari pahala sebagaimana wanita yang tak dalam keadaan berhadats. Jadi dapat disimpulkan, kalau hukum wanita haid membaca Alquran adalah makruh. Simak juga tips mengajarkan anak agar mau salat dan mengaji dalam video berikut:.
Jika seorang wanita mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan setelahnya berhenti, maka itu adalah nifas. Adapun darah yang keluar dari rahim abru disebut sebagai nifas jika muslimah melahirkan bayi dalam bentuk manusia.
Menurut Ibnu Taimiyah dalam kitab Syarhul Iqna' disebutkan, "Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa (minimal) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Kemudian, apabila sesudah kelahiran temyata tidak sesuai dengan kenyataan (bayi belum berbentuk manusia) maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban. Tetapi kalau ternyata demikian (bayi sudah berbentuk manusia), tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban.". Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 228, "Wanita-wanita yang dicerai hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'..".
Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu sampai sang istri mendapat tiga kali haid, sebagaimana telah dijelaskan. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab Al-Mughni', Imam Malik mengatakan, "Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari, yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas.
Ada juga ibu hamil yang konsisten mengeluarkan darah hingga usia kehamilannya mencapai sembilan bulan. Dikutip dari Shahih Fiqih Wanita karangan Syekh Muhammad Al Utsamain, sebenarnya tidak ada satu pun di dalam nash Alquran dan sunah yang mendalilkan bahwa perempuan hamil tak bisa haid.
Ustazah Aini Aryani Lc dari Rumah Fiqih menjelaskan, para ulama berbeda pendapat mengenai hal ini. Dengan demikian, maka kedua hal itu (hamil dan haid) tidak bisa dialami dalam satu waktu.
Ulama dari mazhab Maliki dan Syafi'i berpendapat bahwa wanita hamil bisa saja mengalami haid jika memenuhi syarat, seperti durasi, warna, maupun gejalanya. Sebagaimana dikatakan, haram menceraikan perempuan yang wajib idah pada saat haid apabila dia tidak sedang hamil.
Sementara, tidak haram menalak perempuan yang wajib beridah pada saat haid, apabila dia sedang hamil. Sebab, menalak perempuan yang tidak sedang hamil pada saat haid menyalahi firman Allah SWT.
Salah satu ketentuan yang berlaku adalah periode haid dianggap dalam keadaan berhadas sehingga ia dilarang melakukan ibadah-ibadah tertentu seperti salat dan puasa. Menurut Wahbah Zuhaili, bahasan soal ini telah menjadi konsensus ulama (ijma’), di mana wanita haid dan nifas tidak sah puasanya.
Bagi orang Yahudi, adanya bawaan biologis alamiah dalam diri perempuan seperti haid ini dianggap memiliki hubungan kausalitas dengan alam makrokosmos. Secara umum dapat dikatakan bahwa paradigma dasar fikih tentang perempuan haid tidak memposisikan mereka sebagai kelompok manusia yang perlu diisolasi dari masyarakat.
Karenanya, sepenggal hadis tersebut sejatinya telah menunjukkan bahwa perempuan haid tidak diperkenankan puasa dan wajib qadha’ di luar bulan Ramadan. Justru apabila memaksa melaksanakan salat dan menunaikan puasa padahal dalam keadaan haid, maka akan mendapat dosa lantaran tidak taat dengan aturan Allah Swt.
Contohnya pernyataan Aisyah di atas merupakan hadis maukuf atau qaul sahabat, namun dapat dijadikan hujjah sebab terdapat karinah yang ditunjukkan dari kata pasif “diperintahkan”.