Hukum Menunaikan Puasa Ramadhan Ke Atas Orang Yang Mukallaf. Ketaatan pada kedua macam hukum itu, menurut para ahli usul fikih, merupakan wujud dari kesadaran beragama umat Islam. Para ahli usul fikih membagi hukum taklifi menjadi tiga kategori: perintah, larangan, dan pilihan, untuk menjalankan sesuatu atau meninggalkannya.
Dari ketiga kategori itu, mereka kemudian membaginya lagi menjadi lima macam, yaitu wajib, haram, mandub (sunnah), mubah, dan makruh. Menurut Imam Hanafi, hukum ini juga didasarkan pada dalil-dalil qath'i (pasti) yang tidak mengandung keraguan sedikit pun. Contoh perbuatan yang diharamkan sangat banyak, di antaranya memakan bangkai, membunuh tanpa sebab, berzina, dan mencuri. Sementara itu, mubah adalah suatu hukum di mana Allah memberikan kebebasan kepada orang-orang mukalaf untuk memilih antara mengerjakan atau tidak.
Demikian pula dengan gila dan tidak sadar diri yang menjadi penghalang bagi wajibnya shalat. Sementara itu, Thamrin Zarkasyi dalam Metodologi Hukum Islam menyebutkan, orang-orang yang terhalang (tidak dibebani hukum) karena kurang kecakapan ( Awaridl al-Ahliyyah ) adalah orang sakit, gila, kurang akal, lupa, tidur, pingsan, anak kecil, haid, nifas, dan dalam perjalanan.
Para ahli ilmu usul fikih sepakat bahwa sumber hukum syariat terdiri atas empat hal, yaitu Alquran, sunah, ijmak, dan qiyas . Alquran menempati posisi paling tinggi sebagai sumber hukum syariat karena diturunkan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW dan masih terpelihara keasliannya. Menurut Hassan Hanafi dalam bukunya Islamologi , hal ini menghindarkan kemungkinan adanya kesepakatan dusta antarmereka. Dan, contoh dari sunah yang berupa ketetapan adalah sabda Nabi SAW, "Belajarlah dariku, manasik haji kalian.". Menurut Imam Syafi'i, seperti dikutip oleh Abu Zahrah, Alquran dan sunah harus tidak dibedakan untuk kepentingan penentuan hukum syar'i. Hasan Hanafi mengungkapkan, ijma disahkan menjadi dasar hukum syariah karena juga termasuk wahyu Allah.
Pendapat Hassan Hanafi itu menemukan relevansinya dengan hadis Nabi SAW, ''Umatku tidak akan bersepakat atas perbuatan yang sesat.''. Akan tetapi, karena qiyas ini hasil dari kerja akal, tidak semua ulama sepakat menjadikannya dasar hukum syariat.
Karena, menurut mereka, penerapan qiyas berarti mengingkari kesempurnaan Alquran dan hadis yang sudah mencakup berbagai macam persoalan. Para ahli usul fikih menyebut kemaslahatan itu dengan istilah dharuriyah (primer) dan tahsiniyah (mewah).
Namun, ada pula ulama yang menempatkan haajiyat (kebutuhan sekunder) dalam urusan kemaslahatan ini setelah dharuriyah . Sampai-sampai, untuk mempertahankan jiwa atau hidup itu, semua ulama sepakat bahwa seseorang diperbolehkan memakan binatang yang diharamkan oleh agama. Menurut sang hujjatul Islam, syariat menetapkan hukuman bagi pembuat bid'ah yang mengajak orang lain kepada bid'ahnya.
Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya Ushul Fikih memberikan beberapa contoh tahsiniyah dengan cukup detail. Menutup aurat, menurut Abu Zahrah, tidak hanya menghindarkan seorang Muslimah dari fitnah, tetapi juga mengangkat kehormatannya.
Bahkan, hukum wajib tersebut bisa gugur jika memang seorang mukallaf (manusia yang menjalankan kewajiban) tidak sanggup melaksanakannya. Dengan adanya rukhsah, manusia mukallaf bisa mendapatkan keringanan dalam melakukan ketentuan Allah SWT pada keadaan tertentu, seperti saat kesulitan. Rukhsah tidak disyariatkan karena sudah ada kepastian hukum sebelumnya yang disebut azimah (melakukan suatu perbuatan seperti apa yang telah ditetapkan oleh Allah SWT).
Misalnya, berpuasa pada bulan Ramadan wajib bagi mukallaf (azimah), tetapi bisa dibayar pada hari lain jika mukallaf sedang dalam perjalanan atau sakit. Misalnya, memakan bangkai menjadi haram kembali bagi yang bersangkutan jika tidak dalam keadaan terpaksa atau tidak untuk obat.
Demikian juga, orang yang berpuasa pada Ramadan menjadi wajib kembali bagi yang tidak musafir atau orang sakit. Pertama, karena terpaksa (ad-dariirat) atau karena suatu kebutuhan (al-hajat).
Demikian juga, hukum bagi mukallaf yang dibolehkan berbuka puasa pada Ramadhan karena sakit atau dalam perjalanan. Misalnya, musafir dibolehkan mengqashar salat dan boleh berbuka bagi yang sakit pada Ramadhan.
Cakupan rukhsah yang diberikan Allah SWT untuk hamba-Nya, yakni memberikan keringanan kepada mukallaf hanya pada saat-saat tertentu. Ada juga kaidah yang menyebutkan "Tidak ada (dalam agama) yang susah dan yang menyusahkan". Sedangkan rukhsah yang menggugurkan hukum azimah, yaitu menjadikan hukum yang semula diharamkan menjadi dihalalkan karena rukhsah dalam keadaan tertentu.
Dalam buku Ushul Fiqh Kajian Hukum Islam oleh Iwan Hermawan, disebutkan hukum-hukum tersebut. Pengertian wajib secara bahasa adalah saqith (jatuh, gugur) dan lazim (tetap). -Wajib aini: kewajiban secara pribadi yang tidak mungkin dilakukan atau diwakilkan orang lain misalnya puasa dan sholat.
Hukum Islam sunnah atau mandub dalam fiqh adalah tuntutan untuk melakukan suatu perbuatan karena perbuatan yang dilakukan dipandang baik dan sangat disarankan untuk dilakukan. Sedangkan hukum sunnah jika dilihat dari kemungkinan untuk meninggalkannya terbagi menjadi:.
-Sunnah zaidah: sunnah yang apabila dilakukan oleh mukalaf dinyatakan baik tapi bila ditinggalkan tidak diberi sanksi apapun. Misalnya mengikuti yang biasa dilakukan nabi sehari-hari seperti makan, minum, dan tidur. -Makruh tahrim yakni sesuatu yang dilarang oleh syariat secara pasti contohnya larangan memakai perhiasan emas bagi laki-laki.
-makruh tanzih yakni sesuatu yang diajurkan oleh syariat untuk meninggalkannya, tetapi larangan tidak bersifat pasti contohnya memakan daging kuda saat sangat butuh waktu perang. Mubah adalah titah Allah yang memberikan kemungkinan untuk memilih antara mengerjakan atau meninggalkan. Menurut madzah hanafi, hukum haram harus didasarkan dalil qathi yang tidak mengandung keraguan sedikitpun sehingga kita tidak mempermudah dalam menetapkan hukum haram, sebagaimana QS An Nahl ayat 116.
-Al Muharram li dzatihi: sesuatu yang diharamkan oleh syariat karena esensinya mengandung kemadharatan bagi kehidupan manusia.
Rukun Islam adalah lima tindakan dasar dalam Islam yang dianggap sebagai pondasi wajib bagi orang-orang beriman. "Islam dibangun di atas lima perkara: persaksian bahwa tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, pergi haji, dan puasa di bulan Ramadhan'". Al-Bukhari dan Muslim)Berikut 5 urutan rukun Islam dan penjelasannya:1. Dan tidak ada Tuhan selain Allah dan Allah yang menguasai seluruh isi alam semesta.2. Dan untuk zakat Mal bisa memperkirakannya dengan menyerahkan 2,5 persen dari harta yang diperolah dari penghasilan kita. Pergi Haji (Bagi yang Mampu).
Pergi Haji ke Mekkah adalah kewajiban umat muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Allah berfirman dalam surat Ali-Imran: 97:.