Hukum Bagi Ibu Hamil Yang Tidak Puasa. Selama berpuasa seseorang diwajibkan untuk menahan hawa nafsu, termasuk makan dan minum. Wakil Sekretaris Jenderal PBNU yang juga menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Agama, Isfah Abidal Aziz mengatakan bahwa Islam mengajarkan kasih sayang, dan para ibu hamil atau menyusui pun diberi keringanan berupa boleh tidak berpuasa. Namun kelak, perlu mengganti utang puasa sesuai jumlah hari di lain waktu.

"Sebenarnya wajib, hanya saja ada keringanan yang diberikan oleh Allah SWT, jika kondisi ibu hamil dan menyusui tidak baik untuk berpuasa, maka dibolehkan tidak berpuasa," kata Isfah saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (7/4). Lebih lanjut, Isfah mengungkapkan, jika ibu hamil atau menyusui yakin dan merasa kuat berpuasa, maka dia diperbolehkan menjalankan puasa.

"Akan menjadi dosa jika ibu hamil atau menyusui yang sebenarnya sehat dan mampu malah tidak menjalankan puasa ramadan," tambah Isfah. Sementara itu, jika kondisi ibu hamil atau menyusui sedang tidak sehat, di mana kalau berpuasa akan berdampak pada kesehatan diri dan janinnya, maka puasa yang ia jalani hukumnya makruh.

Untuk diketahui, udzur syar'i merupakan halangan sesuai dengan kaidah syariat islam yang menyebabkan seorang mukallaf, boleh tidak melakukan kewajiban atau boleh menggantikan kewajiban tersebut di kemudian hari. Sebelumnya, pada 2019 lalu, KH Ahmad Ishomuddin mengatakan, dalam mazhab Imam Syafi'i dinyatakan bahwa orang yang tidak berpuasa karena mengkhawatirkan buah hatinya memiliki dua kewajiban.

Namun, apabila ibu hamil dan menyusui meninggalkan puasa karena mengkhawatirkan dirinya dan anaknya, maka mereka hanya wajib untuk mengganti puasa di lain waktu sesuai jumlah hari tanpa perlu membayar fidiah.

Hukum Membayar Utang Puasa Ibu Hamil atau Menyusui

Hukum Bagi Ibu Hamil Yang Tidak Puasa. Hukum Membayar Utang Puasa Ibu Hamil atau Menyusui

Kendati demikian, ibu hamil atau menyusui tetap wajib membayar utang puasa. Wakil Sekretaris Jenderal PBNU yang juga menjabat sebagai Staf Khusus Menteri Agama, Isfah Abidal Aziz mengatakan bahwa ibu hamil atau menyusui dalam kondisi udzur syar'i sehingga diperbolehkan tidak berpuasa.

Udzur syar'i merupakan halangan sesuai dengan kaidah syariat islam yang menyebabkan seorang mukallaf, boleh tidak melakukan kewajiban atau boleh menggantikan kewajiban tersebut di kemudian hari. Meski begitu, di kemudian hari para ibu hamil dan menyusui ini tetap harus membayar utang puasa atau qadha.

Lalu bagaimana cara membayar utang puasa bagi ibu hamil atau menyusui? Menurut Isfah, ibu hamil atau menyusui yang tidak berpuasa karena khawatir terhadap dirinya sendiri dan bayinya maka hanya wajib mengganti puasanya setelah bulan Ramadan (qadha) dan tidak ada kewajiban membayar fidyah.

Sementara, dalam mazhab Imam Syafi'i dinyatakan bahwa ibu hamil atau menyusui yang tidak berpuasa karena khawatir terhadap anak atau bayinya saja memiliki dua kewajiban. Untuk besaran fidyah yang harus dibayarkan sebanyak 1 mud atau 6,75 ons. Merujuk pada aturan yang dikeluarkan BAZNAS nomor 10 Tahun 2022 tentang Zakat Fitrah dan Fidyah di wilayah DKI Jakarta Raya dan sekitarnya, ditetapkan bahwa nilai fidyah dalam bentuk uang sebesar Rp50 ribu per hari per jiwa.

Wajibkah Fidyah bagi Wanita Hamil atau Menyusui jika Tidak Puasa

Hukum Bagi Ibu Hamil Yang Tidak Puasa. Wajibkah Fidyah bagi Wanita Hamil atau Menyusui jika Tidak Puasa

Bismillah walhamdulillah wash shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du. Hukum asal bagi wanita hamil atau menyusui adalah wajib berpuasa Ramadhan. Apabila wanita menyusui tidak puasa karena mengkhawatirkan bahaya, maka dia menunaikan fidiah. Sedangkan wanita hamil, jika tidak puasa karena mengkhawatirkan bahaya menimpa dirinya, maka dia meng-qodho’. Ini adalah pendapat Al-Hasan Al-Bashri dan sebuah riwayat dari Yunus bin ‘Ubaid. Apabila wanita yang hamil atau menyusui tidak berpuasa karena mengkhawatirkan janin atau bayinya, maka tidak ada kewajiban qodho’ dan fidiah bagi keduanya.

Ini adalah pendapat dua sahabat yang mulia, yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma serta pendapat para imam dari kalangan Tabi’iin, seperti Sa’id bin Al-Musayyib (tentang wanita hamil), Sa’id bin Jubair (tentang wanita hamil), Al-Qosim bin Muhammad (tentang wanita hamil), Atha’, Mujahid, Thawus, ‘Ikrimah, Ibrahim An-Nakha’i (tentang wanita hamil), As-Suddi (tentang wanita menyusui), serta selain mereka, seperti Ishaq bin Rohawaih [2].

Related Posts

Leave a reply