Hikmah Puasa Menurut Imam Al Ghazali. Alhamdulillah Allah subhanahu wata’ala telah memberikan kepada kita kesempatan bertemu kembali dengan bulan Suci nan penuh berkah, bulan yang di dalamnya dijanjikan berbagai pahala ibadah dilipatgandakan dan Allah telah memilih ibadah puasa sebagai ibadah yang diwajibkan selama sebulan penuh ini.<> Allah telah mengistimewakan ibadah berpuasa dengan berfirman bahwa Dia sendiri yang akan membalas pahalanya. Yang pertama, adalah karena puasa merupakan ibadah yang bersifat individual untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat.
Puasa juga merupakan sebuah amal ibadah yang bersifat rahasia, tidak dapat diketahui kecuali hanya Allah dan orang yang melakukan puasa, tidak seperti shalat, zakat dan lain sebagainya. Sesungguhnya syaithan tidak akan menjadi kuat kecuali hanya dengan perantara syahwat hawa nafsu yang mengalahkan manusia.
Dalam hal ini rasa lapar dapat mengalahkan syahwat dan hawa nafsu. Jikalau pada bulan Ramadhan kita melihat ada sebagian orang melakukan perbuatan maksiat, bukan berarti kita mempermasalahkan hadits yang mengatakan bahwa syaithan pada saat itu telah diikat. Menurut Imam al-Ghazali, jika puasa dilihat secara amliyah, puasa Daud (yakni sehari berpuasa, sehari tidak) lebih tinggi tingkatannya daripada puasa lainnya, karena ia tidak dilakukan hanya pada waktu-waktu tertentu.
Berfirman Allah Ta’la kecuali puasa, karena puasa itu adalah untuk-Ku dan Aku yang yang akan membalasnya” (Dalam kitab Minhajul ‘Abidin, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa kesempurnaan puasa yang akan didapat oleh orang yang berpuasa selain menahan diri mereka dari makan, minum, dan jima’ adalah juga dengan menahan seluruh anggota tubuh dari perkara-perkara yang dimurkai oleh Allah SWT.Seseorang yang berpuasa hendaknya memelihara pandangan, memelihara telinga, memelihara lidah, memelihara tangan dan kaki, serta memelihara perut dari perkara-perkara yang dimurkai oleh Allah SWT.Selanjutnya Ihya’ Ulumuddin, Imam Al Ghazali mengajarkan kita cara-cara memelihara anggota tubuh dari perkara-perkara yang bisa mendatangkan murka Allah:Menurut Imam Al Ghazali adalah dengan cara menundukkan pandangan terhadap perkara yang tercela dan yang dimurkai oleh Allah. Begitu juga menahan pandangan yang bisa menyibukkan hati sehingga melalaikan dari berzikir kepada Allah SWT.Menurut Iman Al Ghazali adalah dengan menahan lidah dari dusta, ghibah, adu domba, ucapan kotor, perkataan yang tak berguna, perseteruan, dan berbantah-bantahan.Imam Al Ghazali mengatakan “sebaiknya adalah dengan memperbanyak diam, zikir dan membaca Al Qur’an”Cara menjaganya adalah dengan menahan dari perkara-perkara yang dicela ketika didengarkan.
Dalam puasa jenis ini, selain hal-hal di atas, seseorang harus menahan dirinya dari dosa-dosa yang dilakukan tangan, kaki, penglihatan, dan anggota tubuh lainnya. Mereka hanya memikirkan dunia dengan tujuan akhirat karena itu adalah tanah benih untuk masa depan.
Seorang bijak berkata: Satu dosa tertulis dibuat dan dipersiapkan hanya untuk membatalkan usaha puasa seseorang pada siang hari. Golongan orang tertinggi ini adalah para Nabi dan orang-orang yang dekat dengan Allah. Puasa semacam ini dapat dilakukan setelah seseorang mengorbankan diri dan pikirannya sepenuhnya kepada Allah.
Jika seseorang menyerah, Allah memberinya keyakinan seperti itu sebagaimana dirasakan oleh pikirannya. Untuk makan begitu banyak pada saat berbuka puasa sampai perut penuh, bahkan meskipun itu makanan halal. Tujuan dari puasa adalah menjaga agar perut kosong supaya dapat mengendalikan nafsu dan meningkatkan ketakutan terhadap Allah.
Puasa khusus, di samping menahan yang tiga hal tadi juga memelihara seluruh anggota tubuh dari perbuatan maksiat atau tercela. Selanjutnya imam Al Ghazali menjelaskan enam hal untuk mencapai kesempurnaan puasa tingkatan kedua itu. Kedua, menjaga lidah dari perkataan yang sia-sia, berdusta, mengumpat, berkata keji, dan mengharuskan berdiam diri, menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah serta membaca Alquran. Rasa cemas diperlukan untuk meningkatkan kualitas puasa yang telah dilakukan, sedangkan penuh harap berperan dalam menumbuhkan optimisme.
Tentang hal ini, Imam Al Ghazali memberikan beberapa penjelasan yang menuntun kita untuk mendapatkan keutamaan puasa seutuhnya. Menjaga nafsu dan syahwat memang sudah cukup bagi ulama fiqh untuk memenuhi syarat sah puasa. Tidak satu pun dari lima hal ini menunjukkan perilaku makan, minum, atau berhubungan suami istri.
Ini tentu berkaitan dengan makna sah itu sendiri; terwujudnya maksud puasa, untuk berakhlak mulia, dalam diri sang sa’im (orang yang berpuasa). Imam Al Ghazali juga mengingatkan kita tentang hadits-hadits yang menunjukkan betapa Allah memperlakukan puasa secara spesial. Nabi juga pernah bersumpah bahwa bau mulut seorang yang berpuasa beraroma jauh lebih wangi di sisi Allah dibandingkan dengan minyak misik.
Imam Al Ghazali kemudian menjelaskan beberapa waktu yang diutamakan untuk berpuasa, dari level minggu, bulan, hingga tahun. Waktu-waktu utama ini dijelaskan akan menjadi kaffarah (pembebas dosa) yang dilakukan selama seminggu, sebulan, dan setahun.
Dosen sekaligus ustadz yang kajiannya sudah banyak diviralkan di media instagram dan youtobe itu menjelaskan tentang makna dan rahasia puasa. Lantas mengapa harus puasa?
“Alasan kita berpuasa dasarnya satu, yakni ketaatan dan kepatuhan kita kepada Allah,” ujar Ustadz Fahruddin dalam ceramahnya di youtobe tentang rahasia puasa yang dikutip lagi oleh Muslim Obsession, Senin (27/4/2020). Namun kata Ustadz Fahruddin, apabila manusia bisa menaklukan hawa nasfu dia naik kelas ke level malaikat.
Pertanyaan kenapa manusia harus naik kelas ke level malaikat? Salah satu cara bisa memerangi nafsu menurut Al Ghazali, kata ustadz Fahruddin adalah dengan puasa.
Disebut puasa khusus, selain menahan makan, minum, dan tidak berhubungan suami isteri di siang hari, adalah juga mencegah perbuatan dosa dari semua anggota tubuh seperti telinga, mata, mulut, dan lainnnya. Padahal puasa itu adalah sama sebagaimana membaca dua kalimah syahadah, shalat, zakat, dan juga haji. Selama pengertian tentang siapa sebenarnya yang terkena beban untuk menjalankan ritual itu belum jelas, maka sampai kapan pun kualitas ritual tidak akan berhasil ditingkatkan dan membawa perubahan perilaku yang diinginkan.
(QS: 32 :9), pada saat manusia berusia 4 bulan dan 10 hari, ketika masih berada di dalam kandungan ibunya. Ruh itulah sebenarnya yang menjadikan tubuh manusia dapat menjadi bergerak dan berfungsi.
Pada saat tidur itu, maka semua anggota tubuh, seperti mata, telinga, mulut, otak, dan lainnya tidak berfungsi. Di dalam tubuh setiap orang terdapat apa yang disebut dengan hawa, nafsu, dunia, dan setan. Kekuatan itulah yang seharusnya dipuasakan, atau dibelenggu dalam sebulan penuh di bulan Ramadhan, untuk meraih derajad taqwa. Hal itu jika dibuat perumpamaan, adalah sama dengan benda cair atau gas, maka harus ada tempatnya. Itulah sebabnya, dalam hadits nabi disebutkan bahwa banyak orang berpuasa tetapi tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali hanya lapar dan dahaga. Sedangkan puasa yang dimaksudkan untuk memperoleh derajad taqwa, adalah puasanya iman dari ajakan hawa nafsu, dunia dan syetan.
Tetapi menurut Imam Al Ghazali bahwa puasa tidak cukup hanya dengan menahan diri dari makan, minum, dan hubungan suami istri saja. “Dari Abi Hurairah ia berkata, telah bersabda Rasulullah SA: Banyak dari orang yang berpuasa, tiadalah yang didapatkan dari puasanya itu kecuali kelaparan.” (H.R Ahmad). “Dari Abi Hurairah, dia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW: Banyak sekali orang yang berpuasa, tetapi bahagian yang dia dapatkan dari puasanya tersebut hanyalah lapar dan haus saja” (H.R Ibnu Khuzaimah). Oleh karena itu Imam al-Ghazali berpendapat bahwa tidaklah cukup bagi orang yang berpuasa hanya menahan dirinya dari makan, minum, dan jima’ semata, tetapi juga harus memperhatikan hal-hal yang bisa merusak kesempurnaan puasa. Dalam kitab Minhajul ‘Abidin, Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa kesempurnaan puasa yang akan didapat oleh orang yang berpuasa selain menahan diri mereka dari makan. minum, dan jima’ adalah juga dengan menahan seluruh anggota tubuh dari perkara-perkara yang dimurkai oleh Allah SWT.
Adapun cara menjaga mata menurut Imam Al Ghazali adalah dengan cara menundukkan pandangan terhadap perkara yang tercela dan yang dimurkai oleh Allah. Tetapi mereka juga harus menahan anggota tubuh mereka lainnya dari perkara-perkara yang dimurkai oleh Allah SWT sehingga dalam menjalankan puasa, yang didapat bukanlah haus dan lapar semata, melainkan balasan dari Allah sendiri yang nilainya tidak ada yang megetahuinya.