Hadits Puasa Untuk Ibu Hamil. Apabila boleh tidak berpuasa, apakah diwajibkan mengganti puasa di lain hari atau cukup dengan membayar fidyah. Wanita yang hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa, apabila mereka khawatir dirinya atau anaknya mendapat mudharat. Mahzab Hanafi berpandangan jika wanita hamil dan menyusui tidak berpuasa di bulan Ramadhan maka wajib mengqadha tanpa harus membayar fidyah. Mahzab Imam Syafii dan Hanbali, berpendapat baik wanita hamil mau pun menyusui yang tak puasa Ramadhan, keduanya harus membayar fidyah.

Hukum berpuasa bagi bumil baik dari kacamata agama medis

Hadits Puasa Untuk Ibu Hamil. Hukum berpuasa bagi bumil baik dari kacamata agama medis

Hukum puasa bagi ibu hamil. Ini bisa diartikan, apabila ibu hamil khawatir terhadap kondisinya dan janin yang sedang dikandungnya maka boleh baginya untuk tidak berpuasa.

Meskipun begitu, masih ada berpedaan pendapatan dari para ulama terkait apakah tidak puasa saat hamil menurut Islam diharuskan membayar qodho’ (mengganti puasa di luar bulan Ramadan) ataukah harus membayar fidyah (memberi makan seorang miskin) ? Ibu hamil yang tidak berpuasa, wajib membayar Qodho’ atau Fidyah? Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 184 menyebutkan mengenai hukum menggantikan puasa Ramadan dengan qodho’ dan fidyah seperti di bawah ini.

Dan wajiblah bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Sehingga ketika ibu hamil tidak berpuasa karena udzurnya (seperti ibu hamil, yang bisa menunaikan tapi khawatir akan kesehatan bayinya atau dirinya), dia harus menghitung bilangan atau jumlah hari dia tidak bisa berpuasa dan menggantikan puasa sesuai dengan jumlah tersebut, di hari-hari yang luas setelahnya. Namun apabila ia tak mampu mengqodho’ puasa di hari lain, karena setelah hamil keadaannya masih lemah, atau secara medis tidak bisa dan tidak kuat berpuasa, mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya.

“Selain itu ada penelitian yang mengatakan bahwa ibu hamil trimester pertama yang menjalankan puasa, akan melahirkan janin dengan berat badan lebih rendah,” ungkap dr. Juwita saat ditemui beberapa waktu lalu.

Perselisihan Ulama Mengenai Puasa Wanita Hamil dan Menyusui

Hadits Puasa Untuk Ibu Hamil. Perselisihan Ulama Mengenai Puasa Wanita Hamil dan Menyusui

Di antara kemudahan dalam syar’at Islam adalah memberi keringanan kepada wanita hamil dan menyusui untuk tidak berpuasa. Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Para ulama salaf telah berselisih pendapat dalam masalah ini menjadi tiga pendapat. ‘Ali berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui wajib qodho’ jika keduanya tidak berpuasa dan tidak ada fidyah ketika itu.

Pendapat pertama: wajib mengqodho’ (mengganti) puasa dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Inilah pendapat Ibnu Abbas, Ibnu ‘Umar, Ishaq, dan Syaikh Al Albani.

Pendapat keempat: mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Menurut ulama yang berpendapat seperti ini, mereka mengatakan bahwa kewajiban fidyah masih berlaku bagi orang yang sudah tua renta, juga bagi wanita hamil dan menyusui.

Kemudian bagi wanita hamil dan menyusui jika khawatir mendapat bahaya, maka dia boleh berbuka (tidak berpuasa) dan memberi makan orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan.” [4]. Dari Ibnu ‘Abbas, mengenai firman Allah (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin,”[5] beliau mengatakan, “Ayat ini menunjukkan keringanan bagi laki-laki dan perempuan yang sudah tua renta dan mereka merasa berat berpuasa, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa, namun mereka diharuskan untuk memberi makan setiap hari satu orang miskin sebagai ganti tidak berpuasa.

Dari Ibnu ‘Abbas, beliau dulu pernah menyuruh wanita hamil untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Perkataan Al Jashshosh ini sebagai sanggahan terhadap pendapat keempat yaitu ulama yang berpendapat wajib mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan. Karena dianggap seperti orang sakit, maka mereka cukup mengqodho’ sebagaimana disebutkan dalam firman Allah Ta’ala,.

“Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS. Sebagian ulama berpendapat bahwa cukup baginya untuk menunaikan fidyah (memberi makan kepada orang miskin) untuk setiap hari yang ia tidak berpuasa.

Namun pendapat ini adalah pendapat yang lemah. Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.” (QS.

“Di antara para ulama ada yang berpendapat bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak puasa, namun ia harus menggantinya dengan menunaikan fidyah dan mengqodh0’ (mengganti) puasanya. Yang berpendapat seperti ini adalah Sufyan, Malik, Asy Syafi’i dan Ahmad. Sedangkan ulama yang berpendapat bahwa diharuskannya mengqodho’ bagi yang hamil sedangkan bagi wanita menyusui adalah dengan mengqodho’ dan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, maka disanggah oleh Ibnu Hazm rahimahullah. وقال مالك: أما المرضع فتفطر وتطعم عن كل يوم مسكنا وتقضى مع ذلك، وأما الحامل فتقضى ولا اطعام عليها ولا يحفط هذا التقسيم عن احد من الصححابة والتابعين. “Imam Malik berpendapat bahwa adapun wanita menyusui, maka ia dibolehkan untuk tidak berpuasa dan diharuskan untuk mengganti puasannya dengan menunaikan fidyah dengan memberi makan kepada orang miskin bagi setiap hari yang ditinggalkan, dan ia juga diharuskan untuk mengqodho’ puasanya. Sanggahan untuk Ulama yang Menyatakan Tidak Ada Qodho’ dan Tidak Ada Fidyah.

Sehingga tidak ada sama sekali kewajiban (bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa, -pen) karena tidak ada satu pun dalil yang mewajibkannya dan tidak ada pula klaim ijma’ (kesepakatan ulama) dalam hal ini.”[17]. “Tidak ada satu pun ulama yang berpendapat gugurnya qodho’ dan fidyah bagi wanita hamil dan menyusui selain Ibnu Hazm dalam Al Muhalla. Pendapat yang terkuat dalam masalah ini adalah diwajibkan untuk qodho’ bagi wanita hamil dan menyusui, tanpa perlu menunaikan fidyah. Sebagaimana yang telah kami nukilkan di awal tulisan, Ibnu ‘Abbas berpendapat bahwa hukum yang disebutkan dalam surat Al Baqarah ayat 184 belumlah dihapus yaitu masih disyariatkan fidyah pada wanita hamil dan menyusui.

Inilah alasan ulama yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa cukup menunaikan fidyah saja, tanpa mengqodho’. Surat Al Baqarah ayat 184 yang disebutkan di atas menerangkan bahwa orang yang mampu untuk berpuasa, maka ia punya pilihan untuk berpuasa ataukah menunaikan fidyah.

Namun kenapa Ibnu ‘Abbas berpendapat adanya fidyah bagi wanita hamil dan menyusui yang tidak berpuasa? Sebagaimana disebutkan riwayat dalam Shahih Al Bukhari,.

Hadits yang disebutkan oleh Al Bukhari setelah ini menunjukkan bahwa ayat tersebut (surat Al Baqarah ayat 184) telah dimansukh.”[23]. Selain berargumen dengan alasan di atas, mengenai pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui cukup menunaikan fidyah saja ketika tidak berpuasa, kita katakan bahwa pendapat tersebut hanyalah pendapat sahabat yaitu Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, dan bukanlah riwayat marfu’ sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. “Dari Ats Tsauri, dari Ibnu Juraij, dan Atha’, dari Ibnu Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”. Karena tidak diketahui mana pendapat Ibnu ‘Abbas yang terakhir, maka dapat kita katakan bahwa dalam hal ini Ibnu ‘Abbas memiliki 2 pendapat.

“Dari Ibnu Umar, ada seorang wanita hamil yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ia kehausan. Wanita ini bertanya kepada Ibnu ‘Umar, lalu beliau memerintahkan wanita tersebut untuk tidak berpuasa dan membayar fidyah.

Kemudian setelah itu, Ibnu ‘Umar tidak menganggap itu cukup, ia memerintahkan jika ia sudah sehat ia wajib meng-qadha” (HR. Terdapat penguat dari riwayat lain untuk riwayat Ibnu ‘Abbas dalam Al Muhalla (4/251) milik Ibnu Hazm:. “Sebagaimana yang kami riwayatkan, dari Abdurrazaq, dari Ibnu Juraij, dari ‘Atha, dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata: ‘Wanita hamil dan menyusui boleh berbuka di bulan Ramadhan, mereka berdua wajib meng-qadha tanpa fidyah‘”.

Menurut Syaikh Abu ‘Umar Usamah Al’Utaibi, adanya kesamaan sanad antara riwayat ini dengan riwayat Ibnu ‘Umar dalam Sunanul Kubra Al Baihaqi, ada 2 kemungkinan:. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan wajib qadha tanpa fidyah untuk semua keadaan didukung pula oleh Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar, bahkan Ibnu ‘Abbas menyatakan meralat pendapatnya.

Setelah panjang lebar membahas dalil-dalil yang digunakan oleh masing-masing pihak dan menyanggah pendapat yang dinilai kurang tepat, maka kami menyimpulkan bahwa pendapat yang menyatakan bahwa wanita hamil dan menyusui –ketika tidak berpuasa- cukup mengqodho’ tanpa menunaikan fidyah karena kuatnya dalil yang disampaikan oleh ulama yang berpegang dengan pendapat ini. Dalam kondisi ini dia dianggap seperti orang sakit yang diharuskan untuk mengqodho’ di hari lain ketika ia tidak berpuasa. Namun apabila mereka tidak mampu untuk mengqodho’ puasa, karena setelah hamil atau menyusui dalam keadaan lemah dan tidak kuat lagi, maka kondisi mereka dianggap seperti orang sakit yang tidak kunjung sembuhnya.

[29] Penjelasan ini didukung oleh fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah. Beliau ditanya, “Ada seorang wanita di mana ia mengalami nifas di bulan Ramadhan, atau dia mengalami hamil atau dia sedang menyusui ketika itu. Karena memang ada yang mengatakan pada kami bahwa mereka tidak perlu mengqodho’, namun cukup menunaikan fidyah saja. Dalam ayat ini, Allah Ta’ala menjelaskan bahwa siapa saja yang tidak berpuasa karena ada udzur maka hendaklah ia mengqodho’ (mengganti) puasanya di hari yang lain.

Adapun ada riwayat dari sebagian ulama salaf yang memerintahkan wanita hamil dan menyusui (jika tidak puasa) cukup fidyah (memberi makan) dan tidak perlu mengqodho’, maka yang dimaksudkan di sini adalah untuk mereka yang tidak mampu berpuasa selamanya. Dan bagi orang yang tidak dapat berpuasa selamanya seperti pada orang yang sudah tua dan orang yang sakit di mana sakitnya tidak diharapkan sembuhnya, maka wajib baginya menunaikan fidyah.

Pendapat ini adalah pendapat Ibnu ‘Abbas ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankan puasa (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan satu orang miskin (bagi satu hari yang ditinggalkan). Al Jashshosh rahimahullah mengatakan, “Jika wanita hamil dan menyusui berpuasa, lalu dapat membahayakan diri, anak atau keduanya, maka pada kondisi ini lebih baik bagi keduanya untuk tidak berpuasa dan terlarang bagi keduanya untuk berpuasa. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih. [9] Pendapat ini menyatakan: Tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi pendapat Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar ini.

(Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/126-127). Syaikh Al Albani dan Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan. 2054, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan kedua, 1427 H. Lihat pula pendapat yang dipilih oleh Syaikh Musthofa Al ‘Adawi dalam Jaami’ Ahkamin Nisaa’, 5/224.

Bagaimana Hukum Berpuasa Saat Masih Menyusui?

Hadits Puasa Untuk Ibu Hamil. Bagaimana Hukum Berpuasa Saat Masih Menyusui?

Permasalahannya karena merasa mampu berpuasa, tapi khawatir anak kekurangan gizi dan protein jika puasa seharian. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin...". Berdasarkan hadits di atas, Mahsunah mengatakan bahwa ibu menyusui termasuk dalam kondisi yang diperbolehkan tidak berpuasa Ramadhan. Alasannya, karena ibu menyusui butuh makanan yang cukup dan bergizi agar produksi ASI lancar sehingga tidak mengganggu perkembangan otak anak.

Perkembangan otak anak dimulai sejak dalam kandungan sampai bayi berusia lima tahun. Untuk itu, mereka butuh protein yang cukup sehingga kalau dipaksakan berpuasa khawatir bayi tidak mendapatkan gizi terbaik.

Dalam Al Quran juga sudah diatur agar bayi yang lahir diberi ASI selama dua tahun. Diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dari Ibnu Abbas bahwa ia berkata, "Ditetapkan bagi orang yang mengandung dan menyusui untuk berbuka (tidak berpuasa), dan sebagai gantinya memberi makan kepada orang miskin setiap harinya.".

Jika Bunda tidak berpuasa saat Ramadhan, maka sebagai gantinya ada kententuan membayar fidyah, Bun. Bunda, simak juga yuk cara meningkatkan produksi ASI dalam video berikut ini:.

Related Posts

Leave a reply