Denda Bagi Puasa Nazar Yang Melanggar Ketentuan Nya Adalah. Nazar diatur sesuai syariat Islam, termasuk soal pelaksanaan dan dendanya. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Secara harfiah, nazar berarti "mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud mengagungkan serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.". Pada umat Nabi Muhammad, nazar disyariatkan berdasarkan nash, baik Alquran maupun hadis. Ini dengan ketentuan, nazar tersebut untuk melakukan kebaikan kepada Allah SWT, bukan justru bermaksiat kepada-Nya.
Denda tersebut dapat dengan memilih salah satu dari alternatif berikut secara berurutan. Jika seseorang yang bernazar meninggal dunia sebelum melaksanakan nazarnya, nazar tersebut harus dilaksanakan oleh keluarganya.
Nazar lajjaj adalah nazar yang bertujuan untuk memotivasi seseorang agar melakukan suatu hal, atau mencegah seseorang melakukan suatu hal, atau meyakinkan kebenaran sebuah kabar yang disampaikan oleh seseorang. Pengucapan nazar demikian dimaksudkan agar ia termotivasi segera mengkhatamkan bacaan bukunya dalam waktu yang cepat, sebab jika hal tersebut tidak ia lakukan maka ia berkewajiban menyedekahkan uangnya senilai satu juta rupiah. Sebab jika ia melakukan hal tersebut maka ia terkena beban kewajiban menyedekahkan uang satu juta rupiah. Sedangkan contoh nazar lajjaj yang bertujuan untuk meyakinkan orang lain akan kebenaran suatu berita yang disampaikan oleh seseorang, misalnya seseorang setelah mengabarkan suatu berita pada orang lain mengatakan “Jika kabar yang aku sampaikan ini tidak benar, niscaya wajib bagiku untuk bersedekah senilai satu juta rupiah padamu”.
Contoh nazar tabarur yang tidak digantungkan pada suatu hal, seperti ucapan “Aku bernazar akan bersedekah senilai satu juta rupiah” maka wajib bagi seseorang yang mengatakan hal tersebut untuk menyedekahkan uangnya senilai satu juta tatkala ia sudah memilikinya. Kewajiban menyedekahkan ini bersifat kewajiban yang lapang (wujub muwassa’), dalam arti seseorang tidak wajib untuk segera menyedekahkan uang tersebut (faur) saat ia telah mampu, tapi bisa dilakukan kapan pun selama ia tidak memiliki keyakinan tidak akan memiliki uang senilai satu juta rupiah lagi.
Sementara dalam nazar tabarrur tidak tergambarkan bahwa nazar tersebut dapat dilanggar oleh seseorang, sehingga tidak ada jalan lain bagi orang yang mengucapkan nazar tersebut selain harus melakukan perkara yang telah ia sanggupi. Dalam nazar pencegahan, dapat dilanggar ketika seseorang melakukan hal yang semula ia nazarkan tak akan dilakukan.
Ketika melakukan nazar lajjaj, seseorang diberi pilihan antara melaksanakan hal yang ia nazarkan (al-manzur bih, misalnya bersedekah satu juta rupiah) atau membayar denda sumpah ( kafarat yamin ), yakni memilih di antara melakukan salah satu dari tiga hal: (1) memerdekakan budak, (2) memberi makan sepuluh orang miskin dengan ketentuan setiap orang miskin diberi satu mud makanan pokok (0,6 kilogram atau ¾ liter beras), atau (3) memberikan pakaian pada sepuluh orang miskin. Jika bernazar akan menyedekahkan uang senilai satu juta rupiah, sedangkan memberi makanan untuk sepuluh orang miskin hanya menghabiskan biaya dua ratus ribu rupiah, maka yang lebih utama baginya adalah melakukan hal yang ia nazarkan.
Nazar pada awalnya merupakan puasa sunnah namun menjadi wajib ketika seseorang melakukan janji atau pun sumpah. Jika seseorang tidak menyanggupi maupun melanggar janjinya maka harus membayar kafarat. Sebagaimana contoh sebuah nazar seperti, jika seseorang diterima di perguruan tinggi favoritnya maka orang itu akan melakukan puasa sunnah senin kamis selama 3 bulan.
Jika seseorang tidak dapat melaksanakan nazarnya terdapat beberapa konsekuensi yang harus didapatkannya. Maka, kafaratnya (denda akibat melanggar sumpah) ialah memberi makan sepuluh orang miskin dari makanan yang (biasa) kamu berikan kepada keluargamu, memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan seorang hamba sahaya.
Dilansir dari NU Online, ada beberapa alternatif bagi orang yang melanggar nazarnya:. Memberi makan ke sepuluh orang miskin Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin Jika tidak dapat melakukan kafarat tersebut, maka diperbolehkan untuk melakukan puasa selama tiga hari.
Itulah ulasan mengenai niat puasa Nazar beserta ketentuan, tata cara melaksanakannya dan konsekuensi yang ditanggung jika seseorang melanggar nazarnya.
Sedangkan besarnya kifarat atau denda yang dikenakan kepada orang yang melanggar ketentuan Allah ini, berbeda-beda. Ada kifarat yang harus dilakukan berurutan, ada yang boleh dipilih salah satu. Macam-Macam Kifarat dan Dalilnya. Membunuh seorang muslim tanpa sengaja. Selain harus di-qishosh atau membayar diyat, orang yang melakukan pembunuhan juga harus membayar kifarat yaitu dengan memerdekakan hamba sahaya. Ulama Syafi’iyah menambahkan, jika orang yang melakukan pembunuhan itu sudah tua atau sangat lemah sehingga ia tidak kuat berpuasa, maka ia dapat menggantikannya dengan memberi makanan untuk 60 orang miskin masing-masing 1 mud.
Misalnya seseorang bersumpah, “Demi Allah, aku tidak akan masuk lagi ke rumah Fulan.” Kemudian ia memasukinya, maka wajiblah ia menjalankan kifarat. Pelaku sumpah palsu ini harus membayar kifarat.
Bentuk kifaratnya, berdasar firman Allah dalam Alquran Surat Al-Ma’idah ayat 89, adalah memberi makanan kepada sepuluh orang miskin masing-masing 1 mud, atau memberi pakaian kepada mereka, atau memerdekakan budak, atau berpuasa selama tiga hari. Nazar adalah utang dan menjadi janji yang wajib dipenuhi oleh seseorang.
“Sesungguhnya ada seorang perempuan telah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ‘Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia meninggalkan kewajiban puasa nazar yang belum sempat ia tunaikan, apakah aku boleh berpuasa untuk menggantikannya?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, menjawab, ‘Apakah pendapatmu, kalau seandainya ibumu mempunyai utang, dan kamu membayarnya. Maka, dia boleh menggantinya dengan membayar kifarat.
Kifaratnya adalah dengan memerdekakan budak. Orang yang melakukan hubungan suami istri pada siang hari di Bulan Ramadhan harus membatalkan puasanya, meng-qada puasa yang batal itu dan ia wajib membayar kifarat.
Bentuk kifaratnya adalah kifarah ‘udhma (kifarat besar), yaitu ia harus memerdekakan hamba sahaya perempuan yang beriman, tak boleh yang lain. Sanksi kifarat ini hanya dikhususkan kepada si suami yang merusak puasanya dengan jima’, sedangkan bagi istrinya, ia hanya wajib meng-qada puasa yang dibatalkan.
Secara harfiah, nazar berarti "mewajibkan kepada diri sendiri untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan dengan maksud mengagungkan serta mendekatkan diri kepada Allah SWT.". Pada umat Nabi Muhammad, nazar disyariatkan berdasarkan nash, baik Alquran maupun hadis. Ini dengan ketentuan, nazar tersebut untuk melakukan kebaikan kepada Allah SWT, bukan justru bermaksiat kepada-Nya.
Sehingga, jika ia merusak puasanya terlebih dahulu dengan yang lain, seperti makanan, kemudian bersenggama, maka tidak ada kafarat baginya, sebagaimana dalam Asna al-Mathalib:. “Maksud kami dengan ‘senggama’ mengecualikan orang yang sebelumnya membatalkan puasa dengan selain senggama, kemudian ia bersenggama, maka tidak kewajiban kafarat di dalamnya.” Begitu pula jika ia dipaksa melakukannya, karena lupa, dan karena ketidaktahuan yang diampuni, maka tidak perlu kafarat baginya.
Berbeda halnya jika yang dirusak adalah puasa orang lain, seperti seorang musafir atau orang sakit merusak puasa istrinya. Ketujuh, sang pelaku berdosa karena membatalkan puasanya dengan senggama.
“Maksud pernyataan kami ‘karena puasa’ adalah mengeluarkan orang yang bepergian jauh atau orang sakit lalu berzina, atau mencampuri istrinya tanpa merasa punya rukhshah, maka tidak ada kafarat baginya. Maka tidak ada kafarat. “Demikian halnya seandainya ada seseorang mencampuri istrinya karena mengira masih malam, namun ternyata sudah siang, maka tidak ada kewajiban kafarat baginya, karena ia melakukan itu atas dasar keyakinan dirinya belum berpuasa. Berbeda halnya jika pelaku tidak yakin dirinya sudah memasuki bulan Ramaadhan, kemudian ia berpuasa dengan hasil ijtihadnya dan membatalkan puasanya dengan senggama, namun ijtihadnya ternyata salah, maka tidak ada kewajiban kafarat baginya.