Dalil Haram Puasa Hari Raya. Puasa pada tanggal 1 Syawal atau hari raya Idul Fitri dilarang oleh Rasulullah SAW. Idul Adha termasuk dalam dua hari raya yang dilarang untuk berpuasa.
Atas pendapat beberapa ulama, Rasulullah SAW melarang umatnya untuk berpuasa di bulan ini karena masih termasuk dalam hari Ied. Sebagaimana dalam hadits riwayat Muslim, dari Nubaisyah Al Hudzali berkata, nabi SAW bersabda:. Salah satu hadits yang menjadi dasar larangan puasa di hari Syak sebagaimana diriwayatkan dalam Bukhari dan al Hakim,. Artinya: "Siapa yang puasa pada hari syak maka dia telah bermaksiat kepada Abul Qosim (Nabi Muhammad) shallallahu 'alaihi wa sallam.". Seperti diketahui suci dari haid dan nifas adalah syarat untuk bisa menjalankan puasa. Adapun menjalankan puasa di waktu tersebut maka akan mendapat dosa karena melakukan larangan-Nya.
Dalam hal ini terdapat hadis yang berbunyi: لايصومنّ أحدكم يوم الجمعة إلا أن يصوم قبله أو بعده : janganlah kalian berpuasa pada hari Jum’at kecuali berpuasa sebelum atau sesudahnya (HR Al-Bukhari). Hadis yang disebutkan penanya di atas diriwayatkan Imam al-Bukhari pada bab shaum yaum al-jumu’ah dari sahabat Jabir, dan juga dari Abu Hurairah, yang ditanya: “apakah Nabi saw.
tentang larangan berpuasa hanya pada hari jum’at di atas, diterapkan Nabi saw. bertanya lagi: “apakah kamu hendak berpuasa pada esok hari?”, ia mengatakan: tidak. untuk berbuka di saat berpuasa hanya pada hari jum’at menunjukkan adanya larangan berpuasa hanya pada hari jum’at, sebagaimana penetapan topik hadis oleh Imam Muslim di atas. Tetapi hukum makruh itu berlaku jika tanpa suatu sebab. Dalam kitab Subul al-Salam, ketika menjelaskan hadis riwayat Abu Hurairah tentang larangan mengkhususkan berpuasa pada hari jum’at, Imam al-Shan’ani menjelaskan pandangan jumhur ulama, bahwa larangan berpuasa hanya pada hari jum’at itu bersifat makruh tanzih, sebagaimana hadis Ibn Mas’ud, bahwa “Rasul Allah saw. Bahkan di luar kajian teks hadis di atas, sesungguhnya terdapat hikmah yang perlu dijelaskan terkait dengan larangan berpuasa hanya pada hari jum’at, yaitu bahwa hari jum’at merupakan hari raya, yang tentunya harus diperlihatkan rasa senang melalui makan, minum dan dzikir bersama.
Selanjutnya dalam Matan Al Ghoyah wat Taqrib menyebutkan mengenai hari-hari yang dilarang puasa. Jadi diharamkan berpuasa pada kedua hari tersebut dan yang melakukannya dinilai berdosa.
Berpuasa pada tiga hari tersebut karena ada larangan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan hal ini,. Menurut qoul qodim (pendapat terdahulu) dari Imam Syafi’i masih boleh berpuasa pada tiga hari tasyrik bagi orang yang berhaji tamattu’ dan tidak memiliki hewan untuk disembelih.
Sedangkan qoul jadiid (pendapat terbaru), berpuasa pada hari tasyrik tetap terlarang. Abu Syuja’ lebih memilih pendapat makruh bagi yang berpuasa di hari meragukan. من صام يوم الشك فقد عصى أبا القاسم صلى الله عليه و سلم. “Barangsiapa yang berpuasa pada hari meragukan, maka ia telah mendurhakai Abul Qosim shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Dishahihkan oleh Tirmidzi, Ibnu Hibban dan Al Hakim, juga diriwayatkan oleh Bukhari tanpa sanad).
@ Pesantren Darush Sholihin, Warak, Girisekar, Panggang, Gunungkidul, D. I. Yogyakarta, Jum’at malam, 13 Sya’ban 1434 H.
Begitu pula beliau melarang berpuasa pada hari lainnya, yaitu Idul Adha di mana kalian memakan hasil sesembelihan kalian.” (HR. Imam Nawawi rahimahullah memasukkan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Haramnya berpuasa pada hari tasyriq”. Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Minhaj Syarh Shahih Muslim mengatakan, “Hari-hari tasyriq adalah tiga hari setelah Idul Adha.
Imam Nawawi rahimahullah membawakan hadits ini di Shahih Muslim dalam Bab “Terlarang berpuasa pada hari Jum’at secara bersendirian.”. “Barangsiapa berpuasa pada hari yang meragukan, maka ia berarti telah mendurhakai Abul Qosim, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR.
Namun sebagaimana disebutkan dalam riwayat Muslim bahwa di akhir hidupnya Abdullah bin ‘Amr menjadi lemas karena kebiasaannya melakukan puasa Dahr.
Terjadinya perbedaan penetapan awal bulan Qamariyah di Indonesia dikarenakan masyarakat ataupun ormas-ormas Islam tidak sepenuhnya menyerahkan permasalah tersebut kepada pemerintah. Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung, sebagaimana yang dipakai oleh Nahdhatul Ulama (NU).
Di zaman Rasulullah Saw, meski ada orang yang melihat hilal, tetapi dia tidak boleh menjadi penentu keputusan atas ketetapan awal Ramadan. Akan tetapi, sikap tersebut harus diikuti oleh ikhtiar konkret untuk melakukan upaya pendekatan menuju kesatuan dan penyatuan umat. Namun persoalan tersebut termasuk dalam kategori fiqh ijtima’i (ketentuan fiqih yang memiliki dimensi sosial), sehingga membutuhkan pengaturan ulil amri untuk kepentingan ketertiban.
Ayat di atas dijustifikasi dengan kaidah fiqhiyyah yang berbunyi: Hukmu al-hakim ilzam wa yarfa’u al-khilaf (Keputusan pemerintah itu mengikat (wajib dipatuhi) dan menghilangkan silang pendapat).
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Setelah menjalani puasa Ramadhan selama satu bulan penuh, umat Islam menyambut 1 Syawal 1441 Hijriyah yang merupakan Hari Raya Idul Fitri. Menurut Quraish Shihab, umat Islam diharamkan berpuasa pada 1 Syawal karena sebagai tanda selesainya kewajiban yang ditetapkan Allah SWT.
Adapun setelah 1 Syawal, Allah memberikan kebebasan kepada umat Islam untuk berpuasa. Bahkan, Nabi Muhammad menganjurkan umat Islam untuk berpuasa sunnah enam hari di bulan Syawal.
Menukil dari buku berjudul Kitab Puasa Sunan Ibnu Majah oleh Ibnu Majah, disebutkan soal hadits dari Hisyam bin 'Ammar yang menceritakan bahwa Baqiyyah menceritakan, Shadaqah bin Khalid berkata, bahwa Yahya bin Al-Harits adz-Dzammari berkata, ia mendengar Abu Asma Ar-Rahabi dari Tsauban maula Rasulullah SAW beliau bersabda:. "Siapa saja yang berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka (puasa) sempurna satu tahun. Siapa saja membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya.".