Bayar Fidyah Puasa Dengan Wang. Liputan6.com, Jakarta Cara membayar fidyah puasa dengan uang masih menjadi perdebatan. Namun, menurut kalangan Hanafiyah, fidyah tetap boleh dibayarkan dalam bentuk uang sesuai dengan takaran yang berlaku.
Fidyah wajib dibayarkan bagi mereka yang tidak menjalankan ibadah puasa Ramadan. Nantinya, orang-orang tersebut harus mengganti (qadha) di hari lain atau membayar fidyah.
Ada beberapa Cara Membayar Fidyah puasa, mulai dengan makanan hingga uang. Untuk membayar fidyah puasa dengan uang masih belum banyak diketahui. Berikut cara membayar fidyah puasa dengan uang beserta takarannya yang telah Liputan6.com rangkum dari berbagai sumber, Jumat (3/1/2020).
Dikutip dari nu.or.id, utang puasa orang yang telah meninggal dapat dibayar dengan fidyah (makanan pokok untuk orang miskin) meski sebagian ulama membolehkan qadha puasa oleh wali almarhum. Tetapi ulama berbeda pendapat perihal ukuran pembayaran fidyah utang puasa orang yang telah meninggal dunia.
Dalil atas pendapat ini adalah hadits riwayat Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda ‘Siapa saja yang wafat dan ia mempunyai utang puasa, hendaklah orang miskin diberi makan pada setiap hari utang puasanya.’ Puasa adalah ibadah yang tidak dapat digantikan pada saat orang hidup, maka ia tidak digantikan setelah matinya seperti ibadah salat. Jika almarhum meninggal sebelum datang Ramadan berikutnya, maka setiap hari utang puasanya dibayarkan sebanyak satu mud kepada orang miskin. Tetapi jika almarhum meninggal setelah Ramadhan berikutnya tiba, mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat. Kedua, wali cukup membayar fidyah sebanyak satu mud atas penundaan qadha puasanya karena ketika seseorang mengeluarkan satu mud atas penundaan maka dengan sendirinya hilang kelalaian tersebut. Sebagian ulama mengatakan bahwa utang puasa orang yang telah meninggal dunia dapat dibayar dengan fidyah atau sedekah makanan pokok sebanyak satu mud atau bobot seberat 675 gram/6,75 ons beras. Ulama mazhab Syafi’i memiliki dua pendapat perihal seseorang yang meninggal dan belum sempat meng-qadha utang puasanya baik dengan maupun tanpa uzur.
Pertama, (ini pendapat paling masyhur dan shahih) menurut penulis dan mayoritas ulama serta manshuh pada qaul jadid, wajib dibayarkan fidyah satu mud yang diambil dari peninggalan almarhum. Argumentasi atas kedua pendapat ini terdapat di dalam kitab.
“(Mengeluarkan) nominal (makanan) tidak mencukupi menurut mayoritas ulama di dalam kafarat, sebab mengamalkan nash-nash yang memerintahkan pemberian makanan.” (Syekh Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu , juz 9, hal. ولا يجوز إخراج القيمة عند الجمهور غير الحنفية عملا بقوله تعالى فكفارته إطعام عشرة مساكين وقوله سبحانه فإطعام ستين مسكينا. “Tidak boleh mengeluarkan nominal (makanan) menurut mayoritas ulama selain Hanafiyyah, sebab mengamalkan firman Allah; maka kafaratnya adalah memberi makan sepuluh orang miskin; dan firman Allah; maka wajib memberi makan enam puluh orang miskin.” (Jamaah Ulama Kuwait, al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah , juz 35, hal. Ulama Hanafiyyah cenderung lebih longgar memahami teks-teks dalil agama yang mewajibkan pemberian makan kepada fakir miskin.
“Boleh menurut Hanafiyyah memberikan qimah di dalam zakat, harta sepersepuluh, pajak, nazar, kafarat selain memerdekakan. Bisa juga memakai nominal gandum seberat 1,625 kg (untuk per hari puasa yang ditinggalkan, selebihnya mengikuti kelipatan puasanya).
Setiap hari adalah separuh sha’ dari gandum atau nominalnya dengan syarat permanennya ketidakmampuan laki-laki dan perempuan tua hingga meninggal dunia.”. Referensi di atas menjelaskan bahwa konsep fidyah sama dengan zakat fitrah, dari segi ukuran, standar makanan yang dikeluarkan dan kebolehan mengeluarkan qimah. “Ucapan Syekh Hasan, boleh menyerahkan nominal, berkata di kitab al-Tanwir, boleh menyerahkan nominal di dalam zakat, harta sepersepuluh, pajak, zakat fitrah, nadzar dan kafarat selain memerdekakan.” (Syekh Ahmad bin Muhammad al-Thahthawi al-Hanafi, Hasyiyah ‘ala Maraqil Falah , hal. Perbedaan pendapat mengenai kadar berat anggur dijelaskan oleh Syekh Muhammad bin Ali al-Hanafi sebagai berikut:.
Abu Syuja’ rahimahullah berkata, “Barangsiapa memiliki utang puasa ketika minggal dunia, hendaklah dilunasi dengan cara memberi makan (kepada orang miskin), satu hari tidak puasa dibayar dengan satu mud.”. Satu mud disini maksudnya adalah seperempat atau 1/4 sho’.
Dimana satu sho’ adalah ukuran yang biasa dipakai untuk membayar zakat fitrah. Satu sho’ ini sekitar 2,5 – 3,0 kilogram seperti yang biasa kamu setorkan untuk membayar zakat fitrah.
Hal yang lebih utama dari fidyah (memberi makan kepada orang miskin) adalah dengan membayar utang puasa dengan berpuasa yang dilakukan oleh kerabat terdekat atau orang yang diizinkan atau ahli waris si mayit. Dalil yang mendukung hal ini terdapat di hadis dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang meninggal dunia lantas masih memiliki utang puasa, maka keluarga dekatnya (walau bukan ahli waris) yang mempuaskan dirinya.” (HR Bukhari no. Begitu juga dengan hadis dari Ibnu 'Abbas ra, ia berkata, “Ada seseorang pernah menemui Rasulullah SAW lantas ia berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia dan ia masih memiliki utang puasa sebulan.
Apakah aku harus membayarkan qodho’ puasanya atas nama dirinya?” Beliau lantas bersabda, “Seandainya ibumu memiliki utang, apakah engkau akan melunasinya?” “Iya,”, jawabnya. Beliau lalu bersabda, “Utang Allah lebih berhak untuk dilunasi.” (HR Bukhari no. Penjelasan ini dikhususkan bagi orang yang tidak puasa karena ada uzur (seperti sakit), lalu dirinya masih punya kemampuan dan memiliki waktu untuk meng-qodho’ ketika uzurnya terssebut hilang sebelum meninggal dunia.
Ini diperincikan lagi berdasarkan hadis-hadis yang lain, antaranya dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma di Sunan Abi Dawud, beliau berkata:. “Apabila seseorang sakit di bulan Ramadhan kemudian dia meninggal dunia, maka puasanya dibayar dengan memberi makan orang miskin (oleh walinya atau warisnya) dan ianya tidak diqadha’.
“Sesungguhnya ibuku telah meninggal dan beliau memiliki nadzar (puasa).” Maka Rasulullah pun bersabda, “Tunaikanlah (qadha-lah) nadzarnya (puasanya).” (Shahih Al-Bukhari, no. “Tidak, tetapi bersedekahlah (yakni keluarkan fidyah) untuknya bagi setiap hari yang ditinggalkannya atas seorang miskin, itu lebih baik dari engkau berpuasa untuknya.” (Musykilul Atsar oleh Ath-Thahawi, no.
“Bahkan (yang benar), engkau bersedekah (keluarkan fidyah) bagi setiap harinya atas seorang miskin sebanyak setengah shaa’ makanan (seukuran 2 raupan dua tangan orang dewasa – pent. 1, Jika yang ditinggalkan adalah puasa Ramadhan (yakni yang belum sempat dia ganti atasnya disebabkan udzur misalnya), maka cara mengqadhanya adalah walinya (atau warisnya) mengeluarkan fidyah (sedekah makanan) atas namanya dengan nilai setengah shaa’ (seukuran 2 raupan dua tangan orang dewasa – pen.).