Apakah Mengganti Puasa Harus Berturut Turut. Akan tetapi, di samping itu Allah SWT memberikan keringanan kepada mereka umat muslim untuk tidak dapat melaksanakan ibadah puasa Ramadan. Diperbolehkannya berbuka pada hari itu, kemudian kewajiban baginya untuk mengganti puasa diwaktu yang lain.

Sebagaimana wanita pada umumnya, Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha di bulan Ramadhan memiliki udzur, sehingga tidak berpuasa entah karena haidh atau alasan lainnya. Karena kesempatan yang tersisa hanya di bulan Sya’ban, ‘Aisyah pun segera membayar utang puasanya.

Namun kita juga harus mengetahui hari-hari dimana ketika melakukan puasa maka haram hukumnya, yakni pada saat Idulfitri, Iduladha, dan hari Tasyrik (tanggal 11-13 bulan Dzulhijjah). “Dan wajib bagi orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Seseorang yang mengalami sakit parah dan diperkirakan tidak dapat sembuh lagi wajib membayar fidyah. Golongan orang tua lanjut usia (lansia) yang sudah renta dan sakit tidak perlu meng-qadha puasa, melainkan wajib membayar fidyah. Dalam kondisi ini, pihak keluarga yang masih hidup hendaklah membayarkan fidyah atas nama almarhum/almarhumah sebanyak jumlah hutang puasanya.

Haruskah Utang Puasa Dibayar Berturut-turut? Ini Penjelasan Ustazah

Apakah Mengganti Puasa Harus Berturut Turut. Haruskah Utang Puasa Dibayar Berturut-turut? Ini Penjelasan Ustazah

Tapi, sebagian bunda mungkin masih bertanya-tanya, apakah utang puasa harus dibayarkan secara berturut-turut? Terlebih bagi ibu hamil, lalu menyusui bayi dalam waktu beruntun ke Ramadhan tahun berikutnya.

Mungkin ada kondisi tertentu yang membuat bumil dan busui tidak puasa atau membatalkannya. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.

Dijelaskan Ustazah Cholifah, bila seseorang sakit atau sedang bepergian dan tidak mampu berpuasa, maka wajib menggantinya di hari lain setelah Ramadhan, sejumlah puasa yang ditinggalkan. Ustazah Cholifah lalu menerangkan, utang puasa boleh saja dibayarkan dengan segera setelah Ramadhan.

"Atau bagi perempuan yang berhalangan karena hamil lagi, melahirkan, dan menyusui, sehingga baru sempat membayar utang puasa di tahun berikutnya," tutur Ustazah Cholifah. Nah, bila utang puasa jumlahnya banyak, apakah harus dibayar berturut-turut dalam satu waktu?

Jika orang yang sakit lalu meninggal dan belum sempat membayar utang puasa, bagaimana hukumnya? Bunda simak ya, penjelasan Ustazah Cholifah selengkapnya dalam video Muslimahpedia HaiBunda bersama 'Aisyiyah di bawah ini.

Tata Cara Mengganti Puasa Ramadan atau Qadha

Apakah Mengganti Puasa Harus Berturut Turut. Tata Cara Mengganti Puasa Ramadan atau Qadha

Istilah dalam ilmu fiqh menyatakan bahwa qadha dimaksudkan sebagai pelaksanaan suatu ibadah di luar waktu yang telah ditentukan oleh syariat islam. Dikutip dari NU Online, untuk mengganti atau meng-qadha puasa Ramadan harus dilaksanakan sebanyak hari yang telah ditinggalkan, sebagaimana telah dituliskan dalam surat Al-Baqarah ayat 184 dan tidak ada ketentuan lain mengenai tata cara qadha selain dalam ayat tersebut. Lantaran qadha merupakan pengganti puasa yang telah ditinggalkan, sehingga wajib dilakukan secara sepadan. Sementara Al-Baqarah ayat 184 hanya menegaskan bahwa qadha puasa wajib dilaksanakan sebanyak jumlah hari yang telah ditinggalkan. Selain itu, pendapat ini didukung oleh penyataan dari sebuah hadis yang sharih, jelas, dan tegas. Menurut NU Online, kewajiban fidyah terkait ini tidaklah didasarkan pada nash yang sah untuk dijadikan hujjah, oleh sebab itu pendapat tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya.

"Siapa saja meninggal dunia dan mempunyai kewajiban qadha puasa, maka walinya (keluarganya) berpuasa menggantikannya.". Di mana kelebihan hari qadha tersebut akan menjadi ibadah sunnah yang tentunya memiliki nilai tersendiri.

Ketika Qadha Puasa Ramadan, Apakah Harus Berturut-turut?

Apakah Mengganti Puasa Harus Berturut Turut. Ketika Qadha Puasa Ramadan, Apakah Harus Berturut-turut?

BincangSyariah.Com – Di antara perkara yang ditanyakan oleh sebagian orang adalah berpuasa secara berturut-turut ketika qadha puasa Ramadan. Misalnya, seseorang memiliki hutang puasa di bulan Ramadan sebanyak sepuluh hari.

Hal ini karena menyegerakan perbuatan ibadah secara berturut-turut, apalagi yang sifatnya berupa qadha, adalah sangat dianjurkan dan lebih baik dibanding menundanya dengan dilakukan secara terpisah-pisah. Adapun bagi orang yang memiliki hutang puasa di bulan Ramadan tanpa adanya udzur, misalnya sengaja tidak berpuasa di bulan Ramadan padahal dia sedang dalam keadaan tidak ada udzur seperti sakit, maka haram baginya mengqadha puasa Ramadan secara terpisah-pisah. Hal ini sebagaimana disebutkan dalam Darul Ifta’ Al-Mishriyah berikut;. الأفضل في القضاء التتابع إن كان الصيام قد فات بعذر، وإن فات الصيام بلا عذر فالتتابع واجب؛ لأن القضاء في هذه الحال على الفور، والتفريق يخل بالفورية، ومع ذلك لو فرق أيام القضاء كفاه ذلك، لكنه يكون آثما لإخلاله بشرط الفورية والتتابع.

Jika puasa tertinggal tanpa ada udzur, maka mengqadha secara berturut-turut adalah wajib. Meski begitu, jika seseorang mengqadha secara terpisah-pisah, maka hal itu dihukumi sah, hanya saja dia berdosa karena tiida.

Puasa Syawal atau Qadha Puasa Ramadhan Terlebih Dahulu

Apakah Mengganti Puasa Harus Berturut Turut. Puasa Syawal atau Qadha Puasa Ramadhan Terlebih Dahulu

Anggota Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), KH Hamdan Rasyid, menjelaskan, puasa enam hari Syawal memiliki keutamaan yang istimewa, seperti yang diterangkan Rasulullah SAW dalam sabdanya:. Lebih lanjut, lulusan doktoral ushul fikih UIN Jakarta ini menyarankan untuk mendahulukan ibadah fardhu, seperti membayar hutang puasa Ramadhan, sebelum melakukan puasa sunnah Syawal. Dia juga menganjurkan agar hutang (qadha) puasa Ramadhan, disegerakan, dan lebih baik lagi jika dapat ditunaikan di bulan Syawal. “Tentu seharusnya mendahulukan yang wajib, karena ibadah itu selalu memprioritaskan yang Fardhu, jadi bagi siapapun yang punya hutang puasa ramadhan, baik karena bepergian (musafir), hamil, haid, sakit, atau lainnya, itu sebelum dia puasa sunnah Syawal, sebaiknya dahulukan membayar qadha puasanya, baru setelahnya puasa sunnah Syawal,” jelasnya. Dia juga menegaskan bahwa kedua niat puasa tersebut tidak dapat digabungkan. Adapun pengerjaan puasa Syawal, menurut mantan anggota KPU DKI ini tidak harus dilakukan secara berturut-turut.

Selain untuk mendulang pahala, puasa Syawal, kata Kiai Hamdan, juga berguna sebagai penyempurna ibadah yang mungkin belum maksimal saat Ramadhan. Puasa Syawal, kata dia, juga difungsikan sebagai cara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Puasa Kafarat: Niat dan Jenisnya yang Perlu Dipahami Pelajar

Apakah Mengganti Puasa Harus Berturut Turut. Puasa Kafarat: Niat dan Jenisnya yang Perlu Dipahami Pelajar

Pasalnya, secara bahasa, kafarat mengandung arti mengganti, menutupi, membayar, dan memperbaiki sebagaimana yang dikutip dari kitab Al-Fiqhul Islamy wa Adillatuhu oleh Wahbah Az-Zuhaili. Mengutip dari buku Panduan Terlengkap Ibadah Muslim "Sehari-Hari" karya KH Muhammad Habibillah, pada dasarnya puasa kafarat hukumnya wajib karena bertujuan untuk menutup dosa yang diperbuat sebelumnya.

Kafarat, dalam Islam, hukumnya wajib ditunaikan agar seseorang bisa terbebas dari dosa yang ia lakukan," tulis KH. Artinya: Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Bahwa seorang laki-laki berbuka pada bulan Ramadhan, Maka Rasulullah SAW menyuruhnya membayar kafarat dengan memerdekakan seorang budak, atau berpuasa selama dua bulan terus-menerus atau memberi makan kepada 60 orang miskin.".

Tidak ada lafal yang jelas secara langsung dari Rasulullah SAW, namun bacaan niat berikut dapat dilafalkan saat hendak berpuasa kafarat,. Jika sampai melakukan hubungan intim, maka ia harus membayar kafarat, salah satunya berpuasa selama 60 hari berturut-turut.

Waktu Membayar Utang Puasa, Ketahui Ketentuannya agar Tidak

Apakah Mengganti Puasa Harus Berturut Turut. Waktu Membayar Utang Puasa, Ketahui Ketentuannya agar Tidak

Dalam kitab Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam dinukilkan oleh penulisnya bahwa Imam Abu Hanifah berkata,. Pendapat tersebut mengungkapkan bahwa tidak ada batas waktu bagi seseorang untuk membayar utang puasanya. Dalam artian mengqadha puasa dapat dilakukan kapan saja meski sudah datang lagi bulan Ramadan berikutnya. Dilansir dari Islam Pos, Mahmud Abdul Latif Uwaidhah menjelaskan dalam Al-Jami’ li Ahkam Ash-Shiyam:. Nash ini layak menjadi dalil bahwa batas waktu terakhir untuk meng-qadha puasa adalah bulan Sya’ban. Sehingga pelaksanaan qadha' puasanya ditangguhkan atau tertunda sampai tiba Ramadan benkutnya.

Sedangkan jika penangguhan tersebut diakibatkan lantaran uzur yang selalu menghalanginya, maka tidaklah berdosa.

Related Posts

Leave a reply