Perbedaan Hibah Wasiat Dan Hibah Umum. Dalam hal pewaris atau orang tua masih hidup, dapat dilakukan suatu pembagian harta warisan dengan cara pembuatan hibah wasiat. - Surat wasiat umum atau surat wasiat dengan akta umum harus dibuat di hadapan notaris (lihat Pasal 938-939 KUHPerdata);.
Dalam hal pembuatan surat wasiat, perlu adanya saksi dengan ketentuan sebagai berikut:. Proses pembuatan surat wasiat dengan akta umum dilakukan di hadapan notaris yang kemudian ditandatangani oleh pewaris, notaris dan dua orang saksi.
Prosesnya yaitu pada saat penyerahan kepada notaris, pewaris harus menyampailkannya dalam keadaan tertutup dan disegel kepada Notaris, di hadapan empat orang saksi, atau dia harus menerangkan bahwa dalam kertas tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa wasiat itu ditulis dan ditandatangani sendiri, atau ditulis oleh orang lain dan ditandatangani olehnya. Dalam pembuatan surat wasiat harus dilakukan atau dititipkan kepada notaris. Dengan demikian, surat wasiat harus dibuat dengan akta otentik sesuai dengan pengaturan pada Pasal 1868 KUHPerdata yang berbunyi:.
Karena hal yang paling terpenting ketika membahas suatu istilah dalam agama adalah dengan mengetahui terlebih dahulu hakikat dari pada istilah tersebut. Maka dari itu penting disampaikam satu persatu terkait definisi dari hibah, wasiat dan waris dan tentunya definisi yang akan kita sebutkan ini juga merujuk kepada pendapat para ulama dalam kitab fiqih. Hibah adalah pemberian sesuatu dari seseorang kepada orang lain dan diserahkan kepemilikannya secara langsung ketika dia masih hidup dengan niat sadaqah.
Maka ketika orang tua sebelum wafat mengumpulkan semua anak-anaknya dan ingin memberi harta atau bagi-bagi harta kepada mereka maka akad yang seperti ini disebut dengan hibah. "Bukan bagi-bagi waris," katanya.
Dari contoh di atas bisa disimpulkan bahwa poin dasar terkait hibah adalah pemberian orang tua kepada anak-anaknya pada saat masih hidup dan kepemilikannya langsung berpindah saat itu juga. Sebagai contoh ketika orang tua berkata kepada anak bungsunya ”Nak, ini rumah pokoknya sekarang juga untuk kamu” maka secara otomatis kepemilikan rumah tersebut sudah berpindah ke tangan anak bungsu tersebut.
"Wasiat secara istilah syar’i adalah akad tabarru’ atas hak kepemilikan harta yang diserahkan setelah meninggal dunia.".
Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182).Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi HukumIslam (KHI) kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Hibah dan wasiat yang dirumuskan dalam pasal demi pasal KHI tidak lepas dari kitab-kitab fiqih dan justru memang bersumber dari al-Quran, hadist dan kitab-kitab fiqih. Disamping itu sudah menjadi kodrat, bahwa hukum yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini KHI tidak menampung permasalahan hukum yang timbul dalam kehidupan manusia, yang senantiasa berubah dengan membaur permasalahan yang baru, apalagi hibah dan wasiat yang belum diatur dalam KHI hanya terdiri beberapa pasal yang tidak menutup kemungkinan permasalahan hukum di bidang hibah dan wasiat belum diatur yang memerlukan penafsiran hukum dalam penerapannya.
Adapun tulisan ini menyisipkan pembahasan hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang ketentuan yang terdapat dalam hukum Islam dengan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, sebab wasiat dan hibah yang diatur dalam KUH Perdata tidak lepas dari pengaruh hukum Islam. Hibah dalam KUH perdata tidak boleh ditarik kembali, sedang dalam islam dapat ditarik kembali, khusus hibah orangtua kandung kepada anak kandungnya.Hibah dan Wasiat dalam KUH Perdata (BW)Materi hukum tentang hibah dan wasiat dalam KUH Perdata sendiri bukan diambil dari codex justinianus carpus juris civilis yang menurut para sejarah sebagai sumber hokum modern dan bukan pula hibah dan wasiat diambil dari kitab undang-undang hasil imajinasi napolion yang dimuat dalam codex napolion yang merupakan sal usul KUH perdata (BW), tetapi codex napolion justru ide dasarnya ditranformasikan dari kitab fiqih karya imam Asy-Syarkowi yang kemudian dalam aplikasinya terdapat perbedaan yang mendasar antara hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dengan hibah dan wasiat dalam hukum Islam.
Masih melekat dikalangan dunia hukum, bahwa hukum modern selalu dikaitkan dengan negara Eropa, karena memang sejarah hukum senantiasa dikaitkan dengan hukum Romawi, mengingat pengaruh hukum Romawi terhadap perkembangan hukum pada negaranegaradi Eropa sangat besar, khususnya dibidang hukum perdata yang dikembangkan melalui hukum universal atau hukum umum (jus comune, jus gentium). Codex justinianus khususnya hukum perdata menjadi sumber utama dari hukum perdata modern(Theo Huibers, 1990:34).Meskipun Codex Justinianus khususnya dibidang hukum perdata yang dikatakan menjadi sumber utama dari hukum perdata modern, namun BW (KUH Perdata) yang sekarang berlaku di Indonesia yang doberlakukan berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945 adalah bersumber dan meniru kitab fiqih hasil karya Ulama Islam.Kitab fiqih mazhab sudah ada sejak tahun 800 M sedangkan BW Eropa baru pada awal abad XIX M, yakni berdasarkan code napolion yang disusun setelah napolion kembalidari bermukim di Mesir selama kurang lebih 15 bulan antara Bulan Mei 1798 sampai bulan Agustus 1799.
Oleh karena itu tidak aneh kalau dalam KUH Perdata memuat atau membicarakan materi hukum hibah dan wasiat dalam pasal-pasalnya yang tidak lain adalah diambil dari kitab fiqih Imam Asy-Syarkowi, meskipun telah dilakukan perubahan yang justru telah bertentangan dengan ketentuan hibah dan wasiat dalam hokum Islam. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak.
Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat behubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. Hibah dan wasiat yang diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214).
Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk menjadi milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang dilaksanakan semasa hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu). Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi(tahaaduu tahaabuu).
Dalam fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan, yaitu hibah atau hibah wasiat dan waris. Oleh karena itu Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki anak atau masih bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi apabila sudah bercampur dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta orang lain tidak dapat dicabut kembali. Ketentuan ini menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan dasar istishhabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh menghibahkan hartanya.Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat.
Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi wasiat (pasal 194 ayat (3) KHI). Tetapi apabila memperhatikan ketentuan ahli waris pengganti dengan wasiat wajibah diukur dari rasa keadilan, maka menggunakan dasar ahli waris pengganti lebih adil dari pada berdasarkan berdasarkan wasiat wajibah. Pelaksanaan Putusan Peradilan Agama Pemberian harta melalui hibah dan wasiat, baik kepada ahli waris maupun kerabat dan orang lain dapat melindungi hak yang bersangkutan dari ahli waris yang lain.
Agar anak dari istri yang keduanya terlindungi dari pembagian waris yang akan mengurangi jumlah bagiannya (karena anak dari istri yang diceraikan masih berhak atas harta peninggalan ayahnya), maka melaui hibah ini suami dapat menghibahkan hartanya kepada anak dari istri yang keduanya tersebut, sehingga dengan demikian anak tersebut mendapat perlehan memadai. Karena apabila akan dilakukan balik nama terhadap benda yang dihibahkan berdasarkan putusan Pengadilan Agama tersebut masih harus mensyaratkan menyertakan pihak penerima hibah dan pemberi hibah serta syarat-syarat administratif lainnya, misalnya KTP atau surat kuasa, karena pejabat atau instansi yang berangkutan terikat pada Peraturan Perundang-undangan tentang pertanahan atau hukum perjanjian.
Dalam perencanaan keuangan, distribusi aset atau pembagian harta dikenal sebagai estate planning. Salah satu aset yang paling sering beralih hak kepemilikan adalah properti berupa tanah.
Prosedur pendaftaran hak tanah karena hibah harus dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang di hadapan para pihak yang memberi dan menerima hibah, disaksikan minimal dua orang saksi. Yakni pemberian dilakukan pada saat seseorang masih hidup namun baru berlaku jika pemberi hibah sudah meninggal dunia. Namun dalam harta pemberi hibah, terdapat hak bagian mutlak (legitieme portie) anak sebagai ahli waris dan ini dilindungi undang-undang. Dalam hokum kewarisan Islam, maksimal pemberian hibah wasiat untuk orang lain dibatasi hanya sepertiga dari harta. Jika terjadi perkawinan campur, misal WNI Asli dengan Tionghoa, maka dilihat pihak mana yang meninggal. Jika SKW sudah ada, maka perpindahan hak kepemilikan khususnya untuk properti, bisa dilakukan.
Ilustrasinya, bila mengacu contoh hibah wasiat di atas, BPHTB yang dibayarkan sebesar Rp 28,75 juta. Untuk ketiga peralihan hak di atas, khusus untuk wilayah DKI Jakarta, BPHTB bisa menjadi 0% alias gratis (PerGub DKI Jakarta No 126 Tahun 2017), dengan syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, yaitu wajib pajak pribadi yang mempunyai KTP DKI Jakarta minimum dua tahun berturutturut, harus merupakan perolehan hak untuk pertama kalinya karena pemindahan hak (jual beli, hibah, hibah wasiat, dan waris), serta Nilai Perolehan Objek Pajak maksimum Rp 2 miliar.