Hukum Hibah Dari Suami Kepada Istri Dan Anak-anaknya Adalah. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas kepercayaan Saudari untuk menyampaikan pertanyaannya kepada kami. Kemudian, di dalam Pasal 1 huruf f Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) harta bersama diatur sebagai berikut :. Namun demikian, dalam Pasal 35 ayat (2) UUP dinyatakan, “harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.”.
Selanjutnya, dikatakan di dalam penjelasan Pasal 35 UUP bahwa harta bersama adalah berkaitan dengan putusnya ikatan perkawinan, yang pembagiannya menurut hukumnya masing-masing. Pada sisi lain, sebagai perbandingan, di dalam Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) mengatur bahwa: Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi harta bersama menyeluruh antarà suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan tidak boleh ditiadakan atau diubah tanpa suatu persetujuan antara suami isteri. Definisi Hibah menurut Pasal 171 huruf g KHI yaitu pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Setiap harta pribadi (bawaan) memang menjadi hak milik masing-masing, namun dapat dikecualikan jika ada perjanjian lain yang dibuat misalkan pemberian dari suami kepada istri. Jumhur ulama berpendapat bahwa ruju’ (mengambil kembali, ed) di dalam hibah itu haram, sekalipun hibah itu terjadi di antara saudara atau suami isteri, kecuali bila hibah itu hibah dari orang tua kepada anaknya, maka ruju’-nya diperbolehkan berdasarkan hukum ketentuan ini dapat ditemukan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud, An-Nasa'i, Ibnu Majjah dan At-Tarmidzi dan dia mengatakan bahwa hadis ini hasan lagi shahih. Secara hukum Islam, harta yang sudah dihibahkan tidak boleh dimintakan kembali. Bahkan larangan ini sampai pada diumpamakan dengan anjing yang memakan muntahannya sendiri.
Definisi hibah, menurut Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam (“KHI”), adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Anda juga mengatakan bahwa rumah yang dihibahkan kepada Anda lebih besar daripada dua rumah lainnya yang diberikan kepada dua kakak perempuan Anda.
“Samakanlah pemberian yang kamu lakukan terhadap anak-anakmu; dan sekiranya hendak melebihkan, maka hendaklah kelebihan itu diberikan kepada anak perempuan.”. Untuk diketahui, menurut hukum, hibah atas tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”).
Yang dilakukan oleh Ayah anda adalah hibah yang juga diatur Pasal 1666 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut:. Selanjutnya, Anda menceritakan bahwa setelah ayah Anda meninggal kedua Saudara perempuan Anda ingin agar harta waris ayah Anda dibagi sesuai hukum Islam.
Jika keinginan kedua saudara perempuan Anda tersebut berkaitan dengan hibah yang telah diterima dari ayah Anda, maka kita dapat merujuk pada ketentuan Pasal 211 KHI yang menyatakan bahwa hibah dari orang tua kepada anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Tetapi apabila ada sebagian ahli waris yang mempersoalkan hibah yang diberikan kepada sebagian ahli waris lainnya, maka hibah tersebut dapat diperhitungkan sebagai harta warisan, dengan cara mengkalkulasikan hibah yang sudah diterima dengan porsi warisan yang seharusnya diterima, apabila hibah yang sudah diterima masih kurang dari porsi warisan maka tinggal menambah kekurangannya, dan kalau melebihi dari porsi warisan maka kelebihan hibah tersebut dapat ditarik kembali untuk diserahkan kepada ahli waris yang kekurangan dari porsinya.”. Kalaupun para ahli waris, terutama Anda dan kedua saudara perempuan Anda, masih belum dapat bersepakat mengenai harta warisan ayah Anda, maka hal tersebut dapat diselesaikan melalui Pengadilan Agama. Hal ini sesuai dengan Pasal 49 UU No.
Hibah antara suami istri yang mempunyai perjanjian perkawinan namun tidak di perjanjikan, berlaku pengecualian dalam kalimat berikutnya dalam pasal 1678 KUHPerdata. Namun apabila suami istri mempunyai perjanjian perkawinan dapat memperjanjikan tentang penghibahan di dalam perjanjian perkawinnya, seperti yang terdapat dalam pasal 168 KUHPerdata memperbolehkan hibah antara suami istri, apabila telah dituangkan dalam perjanjian perkawinan dan pasal 139 KUHPerdata menerangkan bahwa calon suami istri boleh menuangkan dalam perjanjian perkawinannya beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan dengan memperhatikan beberapa syarat yang harus dipenuhi.
Atas harta bersama, suami atau istri hanya dapat melakukan tindakan hukum terhadap harta tersebut dengan persetujuan dari pasangannya (Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan). Jika tidak ada izin atau persetujuan dari istrinya atas hibah tersebut, maka hibah tersebut batal. Dalam hal ini, suami tidak berwenang melakukan tindakan hukum atas harta bersama tersebut karena tidak memenuhi persyaratan yang diatur dalam Pasal 36 ayat (1) UU Perkawinan yaitu harus mendapatkan persetujuan dari istrinya.
Hibah yang merupakan perjanjian, sebagaimana terdapat dalam Pasal 1666 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”), menjadi batal demi hukum karena yang memberikan hibah adalah orang yang tidak berwenang.
Akan tetapi perlu diingat bahwa ada kemungkinan juga hibah dapat ditarik kembali dalam hal si pemberi hibah telah meninggal dunia dan warisannya tidak cukup untuk memenuhi bagian mutlak (legitime portie) yang seharusnya didapat oleh para ahli warisnya (Pasal 924 KUHPer). Selain itu, ahli waris lain juga harus memasukkan kembali hibah ke dalam perhitungan harta peninggalan pewaris jika mereka memang disyaratkan untuk melakukan pemasukan hibah tersebut. Dalam hal demikian, KUHPer mengatur bahwa ahli waris hanya harus memasukkan sebesar bagian yang diterimanya jika ia menjadi ahli waris (Pasal 1088 KUHPer). Perlu diingat bahwa, pemasukkan tidak perlu dilakukan jika ahli waris tersebut menolak harta warisan pewaris (Pasal 1087 KUHPer).
Jika ia tidak menolak warisan, si anak harus memasukkan hibah yang telah diterimanya ke dalam harta warisan/harta peninggalan pewaris.
Meskipun tampaknya sepele tetapi apabila pelaksanaannya tidak dilakukan dengan cara-cara yang benar dan untuk menguatkan atau sebagai bukti tentang peristiwa hukum yang sepele tadi, padahal khasanah materi hukum Islam dibidang hibah dan wasiat ini bukan hukum ciptaan manusia, tetapi hukumnya ditetapkan Allah SWT dan RasulNya(Al-Baqarah ayat 177 dan ayat 182).Dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama (UUPA) dan kompilaasi HukumIslam (KHI) kata wasiat disebut lebih dahulu dari kata hibah, tetapi didalam kitab-kitab fiqih dan KUH Perdata hukum hibah lebih dahulu dibahas, baru kemudian wasiat. Hibah dan wasiat yang dirumuskan dalam pasal demi pasal KHI tidak lepas dari kitab-kitab fiqih dan justru memang bersumber dari al-Quran, hadist dan kitab-kitab fiqih.
Disamping itu sudah menjadi kodrat, bahwa hukum yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan, termasuk dalam hal ini KHI tidak menampung permasalahan hukum yang timbul dalam kehidupan manusia, yang senantiasa berubah dengan membaur permasalahan yang baru, apalagi hibah dan wasiat yang belum diatur dalam KHI hanya terdiri beberapa pasal yang tidak menutup kemungkinan permasalahan hukum di bidang hibah dan wasiat belum diatur yang memerlukan penafsiran hukum dalam penerapannya. Adapun tulisan ini menyisipkan pembahasan hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang ketentuan yang terdapat dalam hukum Islam dengan ketentuan yang diatur dalam KUH Perdata, sebab wasiat dan hibah yang diatur dalam KUH Perdata tidak lepas dari pengaruh hukum Islam.
Hibah dalam KUH perdata tidak boleh ditarik kembali, sedang dalam islam dapat ditarik kembali, khusus hibah orangtua kandung kepada anak kandungnya.Hibah dan Wasiat dalam KUH Perdata (BW)Materi hukum tentang hibah dan wasiat dalam KUH Perdata sendiri bukan diambil dari codex justinianus carpus juris civilis yang menurut para sejarah sebagai sumber hokum modern dan bukan pula hibah dan wasiat diambil dari kitab undang-undang hasil imajinasi napolion yang dimuat dalam codex napolion yang merupakan sal usul KUH perdata (BW), tetapi codex napolion justru ide dasarnya ditranformasikan dari kitab fiqih karya imam Asy-Syarkowi yang kemudian dalam aplikasinya terdapat perbedaan yang mendasar antara hibah dan wasiat dalam KUH Perdata dengan hibah dan wasiat dalam hukum Islam. Masih melekat dikalangan dunia hukum, bahwa hukum modern selalu dikaitkan dengan negara Eropa, karena memang sejarah hukum senantiasa dikaitkan dengan hukum Romawi, mengingat pengaruh hukum Romawi terhadap perkembangan hukum pada negaranegaradi Eropa sangat besar, khususnya dibidang hukum perdata yang dikembangkan melalui hukum universal atau hukum umum (jus comune, jus gentium).
Codex justinianus khususnya hukum perdata menjadi sumber utama dari hukum perdata modern(Theo Huibers, 1990:34).Meskipun Codex Justinianus khususnya dibidang hukum perdata yang dikatakan menjadi sumber utama dari hukum perdata modern, namun BW (KUH Perdata) yang sekarang berlaku di Indonesia yang doberlakukan berdasarkan pasal II Aturan peralihan UUD 1945 adalah bersumber dan meniru kitab fiqih hasil karya Ulama Islam.Kitab fiqih mazhab sudah ada sejak tahun 800 M sedangkan BW Eropa baru pada awal abad XIX M, yakni berdasarkan code napolion yang disusun setelah napolion kembalidari bermukim di Mesir selama kurang lebih 15 bulan antara Bulan Mei 1798 sampai bulan Agustus 1799. Oleh karena itu tidak aneh kalau dalam KUH Perdata memuat atau membicarakan materi hukum hibah dan wasiat dalam pasal-pasalnya yang tidak lain adalah diambil dari kitab fiqih Imam Asy-Syarkowi, meskipun telah dilakukan perubahan yang justru telah bertentangan dengan ketentuan hibah dan wasiat dalam hokum Islam. Hibah dan wasiat sendiri pada dasarnya untuk tujuan yang baik, karena pada asasnya adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pahala dari Allah SWT. Oleh karena itu apabila (misalnya) ayah atau ibu dari anak akan menghibahkan atau mewasiatkan hartanya, maka tidak seorangpun dapat menghalanginya, karena sedekat-dekatnya hubungan anak dengan ayanya masih lebih dekat ayahnya itu dengan dirinya sendiri, Syari’at Islam hanya menolong hak anak dengan menentukan jangan sampai hibah dan wasiat melebihi 1/3 (sepertiga) dari harta atau jangan sampai kurang 2/3 (dua pertiga) dari warisan ayah yang menjadi hak anak.
Memang hukum hibah ansich tidak menimbulkan masalah hukum, karena hibah ansich adalah pemberian yang bersifat final yang tidak ada seorangpun yang ikut campur, namun apabila hibah dikaitkan dengan wasiat apabila wasiat behubungan dengan kewarisan, maka akan menimbulkan masalah hukum.Walaupun hibah dan wasiat berdasarkan hukum Islam merupakan salah satu tugas pokok atau wewenang Peradilan Agama(pasal 49 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006), namun diantara perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama jarang sekali, bahkan hampir tidak ada yang diselesaikan melalui Pengadilan Agama dibandingkan dengan perkara perceraian dan yang assesoir dengan perkara perceraian, seperti pemeliharaan anak, nafkah anak, harta bersama dan lain-lain serta perkara kewarisan. Hibah dan wasiat yang diatur dalam KHI dimuat dalam Bab V (wasiat pasal 194-209) dan Bab VI (hibah pasal 210-214).
Pengertian hibah dalam kajian fiqih adalah pemberian sesuatu untuk menjadi milik orang lain dengan maksud untuk berbuat baik yang dilaksanakan semasa hidupnya tanpa imbalan dan tanpa illat (karena sesuatu). Definisi yang diatur dalam KHI dan yang terdapat dalam kitab fiqih pada dasarnya tidak ada perbedaan, namun dalam kajian fiqih dijelaskan pengertian shadaqah dan illat untuk mengharapkan pahala dari Allah SWT, sedangkan hadiah semata-mata untuk memuliakan orang yang diberi hadiah yang dampaknya akan melahirkan saling mengasihi(tahaaduu tahaabuu).
Dalam fiqih hak anak terhadap orang tuannya dapat diperoleh dari 2 jalan, yaitu hibah atau hibah wasiat dan waris. Oleh karena itu Ulama fiqih berpendapat apabila benda hibah masih dimiliki anak atau masih bergabung dengan milik orang tuanya dapat dicabut, tetapi apabila sudah bercampur dengan harta miliknya, istrinya atau dengan harta orang lain tidak dapat dicabut kembali.
Ketentuan ini menurut kajian fiqih orang yang sakit dapat menghibahkan 1/3 hartanya dengan dianalogkan dengan wasiat dengan dasar istishhabul-hal menganggap tetap berlakunya sesuatu yang sama karena ijma, menetapkan orang yang sakit boleh menghibahkan hartanya.Hukum Hibah dan wasiatWasiat yang diatur dalam 194 pasal 209 KHI yang disebutkan diatas memuat mereka yang berhak untuk berwasiat, bentuk wasiat, jenis-jenis wasiat, hal-hal lain yang boleh dan tidak boleh dalam wasiat. Perbedaan hibah dan wasiat dilaksanakan setelah kematian pemberi wasiat (pasal 194 ayat (3) KHI). Tetapi apabila memperhatikan ketentuan ahli waris pengganti dengan wasiat wajibah diukur dari rasa keadilan, maka menggunakan dasar ahli waris pengganti lebih adil dari pada berdasarkan berdasarkan wasiat wajibah. Pelaksanaan Putusan Peradilan Agama Pemberian harta melalui hibah dan wasiat, baik kepada ahli waris maupun kerabat dan orang lain dapat melindungi hak yang bersangkutan dari ahli waris yang lain.
Agar anak dari istri yang keduanya terlindungi dari pembagian waris yang akan mengurangi jumlah bagiannya (karena anak dari istri yang diceraikan masih berhak atas harta peninggalan ayahnya), maka melaui hibah ini suami dapat menghibahkan hartanya kepada anak dari istri yang keduanya tersebut, sehingga dengan demikian anak tersebut mendapat perlehan memadai. Karena apabila akan dilakukan balik nama terhadap benda yang dihibahkan berdasarkan putusan Pengadilan Agama tersebut masih harus mensyaratkan menyertakan pihak penerima hibah dan pemberi hibah serta syarat-syarat administratif lainnya, misalnya KTP atau surat kuasa, karena pejabat atau instansi yang berangkutan terikat pada Peraturan Perundang-undangan tentang pertanahan atau hukum perjanjian.