Hibah Kepada Orang Bukan Islam. Dalam hukum kewarisan Islam, pemberian hibah untuk orang lain juga dibatasi maksimum hanya sebesar 1/3 harta. Jadi, jika memang hibah melanggar hak anak, maka anak dapat menggugat pemberian hibah. Dengan demikian, pemberian hibah harus memperhatikan persetujuan dari para ahli waris dan jangan melanggar hak mutlak mereka.
Hak mutlak adalah bagian warisan yang telah di tetapkan oleh undang-undang untuk masing-masing ahli waris (lihat Pasal 913 BW). Untuk non muslim, akan tunduk pada aturan yang ada di Pasal 881 ayat (2) BW, yang mengatakan bahwa “dengan sesuatu pengangkatan waris atau hibah yang demikian, si yang mewariskan (dan menghibahkan-red) tak boleh merugikan para ahli warisnya yang berhak atas sesuatu bagian mutlak”.
If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site.
Assalamu ’alaikum wr. Demikian sebagaimana yang kami pahami dari keterangan dalamberikut ini:Artinya, “Hibah secara bahasa adalah pemberian terlepas dari imbalan dan tujuan terntentu, atau bisa pemberian dengan secara cuma-cuma sesuatu yang bermanfaat bagi pihak penerima hibah secara mutlak. Sedang menurut syara’, hibah adalah mengalihkan hak kepemilikan suatu benda kepada pihak lain dengan tanpa imbalan,” (Lihat, [Kuwait, Darus Salasil: tanpa keterangan tahun], juz I, halaman 144).Dari sini kemudian muncul pertanyaan, bagaimana jika seorang Muslim memberikan hibah kepada non-Muslim? Hal ini sebagaimana yang kami pahami dari pernyataannya berikut ini:Artinya, “Adapun hibah orang Muslim kepada orang kafir itu boleh, baik orang kafir tersebut adalah orang Yahudi, Nasrani, Majusi, atau kafir musta`man di negara Islam,” (Lihat Ali As-Saghdi,, [Beirut, Muassatur Risalah: 1404 H/1984 M], halaman 520).Pandangan di atas menurut kami harus dibaca dalam konteks ketika apa yang dihibahkan itu memang bisa dimiliki oleh non-Muslim.
Kebolehan berhibah tersebut dalam pandangan kami setidaknya didasarkan salah satunya kepada firman Allah SWT ayat 8 Surat Al-Mumtahanah berikut ini:Artinya, “Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama, dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Menurutnya, ayat tersebut juga menunjukkan kebolehan berhubungan dan berbuat kebaikan kepada orang-orang non-Muslim yang tidak memerangi umat Islam, kendati loyalitas di antara mereka (non-Muslim) masih tetap kuat.Artinya, “Al-Kawasi berkata, ‘Bahwa ayat ini diturunkan terkait kebolehan (rukhshah/keringanan) menyambung tali silaturahmi dengan orang-orang yang tidak memusuhi dan memerangi kaum mukmin.’ Kemudian ia berkata, ‘Ayat ini menunjukkan kebolehan bersilaturahmi dan berbuat kebajikan kepada orang-orang kafir yang memerangi kaum Muslim, dan meski loyalitas di antara mereka tetap kuat,’” (Lihat Ibnu ‘Ajibah,, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyyah: 1423 H/2002 M], cetakan kedua, juz VIII, halaman 37).Berangkat dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwa boleh seorang Muslim memberikan hibah kepada non-Muslim karena hibah termasuk dari amal kebajikan ().
Tetapi tentu dengan catatan bahwa bahwa apa yang dihibahkan tersebut adalah sesuatu yang memang boleh dimiliki orang non-Muslim tersebut. Non-Muslim tersebut bukan termasuk dari kategori pihak yang memerangi umat Islam ().Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan.
Hibah di dalam Hukum Islam terdapat batasan, sesuai dengan pasal 210 ayat (1) KHI yaitu maksimal sepertiga (1/3) bagian dari harta yang dimiliki si penghibah. Di dalam Hukum Islam anak angkat bukanlah ahli waris, tetapi berhak diberi bagian harta warisan orang tua angkatnya melalui wasiat wajibah.
Hal ini tertera di dalam pasal 209 ayat (2) KHI mengenai pemberian wasiat wajibah kepada anak angkat maksimal sepertiga (1/3) bagian dari harta yang dimiliki. Demikian juga yang diatur di dalam pasal 210 KHI, bahwa pemberian hibah dibatasi sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) bagian dari harta benda. 402.K/Pdt/1988 tanggal 29 Juni 1992, menyatakan bahwa hibah seluruh harta yang dilakukan oleh Narsah kepada anak angkatnya, Husen bin Maskom, yang juga merupakan keponakannya itu adalah sah menurut Hukum Adat. Ada beberapa alasan yang dapat dijadikan sebagai acuan, yaitu : 1.Menurut Hukum Islam, anak angkat bukanlah ahli waris, tetapi dapat diberi wasiat wajibah maupun hibah sebanyak-banyaknya sepertiga (1/3) bagian dari harta benda si pewaris.
Maka tidak bendr jika seluruh harta yang dimiliki pewaris diberikan kepada anak angkat pewaris, tanpa memperhatikan ahli waris tersebut (suami dan adik kandung laki-laki).
Bahan hukum dikumpulkan melalui studi kepustakaan untuk kemudian dibahas dengan menggunakan teknik analisis yuridis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa (1) Kedudukan anak non muslim terhadap harta warisan pewaris beragama Islam adalah bukan sebagai ahli waris karena Hukum Waris Islam tidak mengenal adanya pewaris kepada orang yang berbeda agama (non-muslim).
Tentang non-muslim tidak dapat mewarisi harta seorang muslim para ahli hukum telah sepakat dengan ketentuan tersebut. Dalam hal hukum adat Bali tidak mempermasalahkan agama terhadap pihak yang mewaris, maka Anda dapat meminta untuk dinyatakan sebagai ahli waris.
Jika hal ini terjadi, maka pilihan lainnya adalah melakukan penyelesaian dengan cara kekeluargaan. Catatan editor: Alinea terakhir artikel jawaban ini telah mengalami perubahan yaitu yang sebelumnya berbunyi " Jika hal ini terjadi, maka pilihan lainnya adalah melakukan penyelesaian dengan cara kekeluargaan, dalam arti berbagi dengan saudara-saudara perempuan Anda. ".