Bagaimana Hukum Mencabut Hibah Yang Telah Diberikan Kepada Orang Lain. JavaScript is disabled for your browser. Some features of this site may not work without it.
Anda tidak menyebutkan agama apa yang dianut oleh bapak tersebut dan anak-anaknya. Karena Anda tidak menjelaskan secara rinci mengenai hibahnya, kami berasumsi bahwa hibah tersebut dilakukan sesuai prosedur yang berlaku.
Pengertian hibah terdapat dalam Pasal 1666 KUHPer, yaitu suatu persetujuan dengan mana seorang penghibah menyerahkan suatu barang secara cuma-cuma, tanpa dapat menariknya kembali, untuk kepentingan seseorang yang menerima penyerahan barang itu. Untuk itu, hibah tidak dapat dicabut dan tidak dapat dibatalkan oleh orang tua tersebut, kecuali dalam hal-hal berikut sebagaimana terdapat dalam Pasal 1688 KUHPer:.
3. jika penghibah jatuh miskin sedang yang diberi hibah menolak untuk memberi nafkah kepadanya. 3), dalam hukum acara perdata, penggugat adalah seorang yang “merasa” bahwa haknya dilanggar dan menarik orang yang “dirasa” melanggar haknya itu sebagai tergugat dalam suatu perkara ke depan hakim. Perkataan “merasa” dan “dirasa” dalam tanda petik, sengaja dipakai di sini, oleh karena belum tentu yang bersangkutan sesungguh-sungguhnya melanggar hak penggugat. Jadi sebagai penggugat, bapak tersebut berhak untuk menggugat siapa saja yang dirasa melanggar haknya. Mengenai apakah gugatan tersebut menjadi kurang pihak atau tidak, majelis hakim lah yang berwenang memutuskan.
Ada pengecualian mengenai harta hibah yang boleh diminta kembali. Syeikh Abu Ishaq asy-Syairazi atau lebih dikenal dengan Imam as-Syairazi (w. 476 H) menyebutkan, jika seseorang telah memberikan hibah kepada selain anak dan cucu, maka tidak boleh diminta kembali.
Meski begitu, ahli fiqih yang namanya kerap muncul di kitab-kitab fiqh mazhab Syafi'i ini memberikan beberapa pengecualian yang membolehkan mengambil kembali hibah. Selain itu tak boleh, kecuali atas kerelaan dari orang yang diberi. Termasuk pemberian suami kepada istri atau sebaliknya," tulisnya yang dikutip di buku berjudul Hibah Jangan Salah karangan Hanif Luthfi. Pernyataan tersebut dikuatkan dengan perkataan Rasulullah dalam hadits riwayat Abu Daud, Tirmidzi, An-Nasa-i, dan Ibnu Majah. Dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda, "Tidaklah halal jika seseorang memberikan pemberian kemudian dia menarik lagi pemberiannya, kecuali orang tua (yang menarik lagi) sesuatu yang telah dia berikan kepada anaknya.".
Berdasarkan ketentuan tersebut, prinsipnya benda yang sudah dihibahkan tidak dapat ditarik kembali menjadi hak milik pemberi hibah. Jalan terakhir adalah dengan mengurangkan dari bagian hibah yang pernah diberikan pewaris sebelum meninggal.
Untuk urusan kewarisan hibah yang pernah diberikan pewaris dapat diperhitungkan kembali ke dalam harta peninggalan. Namun, Pasal 1045 KUHPer menyebutkan “ Tiada seorang pun diwajibkan untuk menerima warisan yang jatuh ke tangannya.
1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki. Sekedar untuk menambah informasi, Saudara dapat membaca artikel Hibah Orang Tua kepada Anak-Anaknya dan Kaitannya dengan Waris. Apabila pewaris yang beragama Islam ingin menggunakan cara perhitungan waris perdata Barat, ia dapat mengungkapkan kehendak tentang hal tersebut.
Jika tidak ada pernyataan kehendak dari pewaris yang demikian, maka para ahli waris dapat bersepakat menentukan cara pembagian harta warisan.
Dalam pembuatan wasiat, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata memberikan pembatasan yaitu: a. Tidak boleh pengangkatan waris atau hibah wasiat lompat tangan (fidei-commis); b. Tidak boleh memberikan wasiat kepada suami/istri yang menikah tanpa izin; c. Tidak boleh memberikan wasiat kepada istri kedua melebihi bagian yang terbesar yang boleh diterima istri kedua sebagaimana diatur dalam Pasal 852a KUHPerdata; d. Tidak boleh membuat suatu ketetapan hibah wasiat yang jumlahnya melebihi hak pewaris (testateur) dalam harta persatuan; e. Tidak boleh menghibahwasiatkan untuk keuntungan walinya; para guru dan imam; dokter, ahli penyembuhan, ahli obat-obatan dan orang-orang lain yang menjalankan ilmu penyembuhan, yang merawat pewaris selama ia menderita penyakit yang akhirnya menyebabkan ia meninggal; para notaris dan saksi-saksi dalam pembuatan wasiat; f. Tidak boleh memberikan wasiat kepada anak luar kawin melebihi bagiannya dalam Pasal 863 KUHPerdata; g. Tidak boleh memberikan wasiat kepada teman berzina pewaris; h. Larangan pemberian kepada orang yang dijatuhi hukuman karena telah membunuh pewaris, orang yang telah menggelapkan, memusnahkan atau memalsukan surat wasiat pewaris, atau orang yang dengan paksaan atau kekerasan telah menghalangi pewaris untuk mencabut atau mengubah surat wasiatnya, serta isteri atau suaminya dan anak-anaknya. Golongan III : Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris. Fidei-commis yaitu suatu ketetapan waris, dimana orang yang diangkat sebagai ahli waris atau yang menerima hibah wasiat, diwajibkan untuk menyimpan barang-barang warisan atau hibahnya, untuk kemudian menyerahkannya, baik seluruh maupun sebagian kepada orang lain. b. Kedua: orang yang pertama-tama ditunjuk sebagai ahli waris/legetaris, dengan tugas/kewajiban menyimpan barang tersebut dan menyampaikan kepada pihak ketiga, dinamakan pemikul beban (bezwaarde);.
Suami istri yang menikah tanpa izin, sebagaimana diatur dalam Pasal 901 KUHPerdata:. Seorang suami atau isteri tidak dapat memperoleh keuntungan dari wasiat-wasiat isteri atau suaminya, bila perkawinannya dilaksanakan tanpa izin yang sah, dan si pewaris telah meninggal pada waktu keabsahan perkawinan itu masih dapat dipertengkarkan di Pengadilan karena persoalan tersebut. Pelaku perzinaan, baik laki-laki maupun perempuan, tidak boleh menikmati keuntungan apa pun dari wasiat kawan berzinanya, dan kawan berzina ini tidak boleh menikmati keuntungan apa pun dan wasiat pelaku, asal perzinaan itu sebelum meninggalnya pewaris, terbukti dan putusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang pasti. Selain itu, wasiat juga harus memperhatikan bagian mutlak (legitieme portie) dari para ahli waris. Para ahli waris yang mempunyai bagian mutlak (legitieme portie) disebut legitimaris.