Hukum Pelaksanaan Aqiqah Adalah Sunnah. Pendapat Ini Merupakan Pendapat Madzhab. Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan dari Ummu Karaz Al Ka’biyah bahwa ia bertanya kepada rasulullah tentang akikah. Dalil-dalil yang menyatakan hal ini, di antaranya, adalah hadis Rasulullah ﷺ, "Setiap anak tertuntut dengan akikahnya?".

Ada juga sebagian ulama yang mengingkari disyariatkannya (masyri'iyyat) akikah, tetapi pendapat ini tidak berdasar sama sekali. Mungkin akan timbul pertanyaan, mengapa agama Islam membedakan antara akikah anak laki-laki dan anak perempuan, maka jawabannya adalah bahwa seorang muslim, ia berserah diri sepenuhnya pada perintah Allah SWT, meskipun ia tidak tahu hikmah akan perintah tersebut, karena akal manusia terbatas. Seperti dalam definisi tersebut di atas, bahwa akikah adalah menyembelih kambing pada hari ketujuh semenjak kelahiran seorang anak, sebagai rasa syukur kepada Allah.

Namun, sebagian ulama berpendapat bahwa akikah hanya boleh dengan menggunakan kambing saja, sesuai dalil-dalil yang datang dari Rasulullah ﷺ. Zaki Ahmad dalam bukunya "Kiat Membina Anak Sholeh" disebutkan manfaat-manfaat yang akan didapat dengan berakikah, di antaranya:[6].

Namun bila seseorang yang belum di sembelihkan hewan akikah oleh orang tuanya hingga ia besar, maka dia bisa menyembelih akikah dari dirinya sendiri, Syaikh Shalih Al Fauzan berkata: "...dan bila tidak diakikahi oleh ayahnya kemudian dia mengakikahi dirinya sendiri maka hal itu tidak apa-apa.".

Hukum Aqiqah Wajib, Benarkah Demikian?

Hukum Pelaksanaan Aqiqah Adalah Sunnah. Pendapat Ini Merupakan Pendapat Madzhab. Hukum Aqiqah Wajib, Benarkah Demikian?

Banyak para orang tua di Indonesia meyakini bahwa seorang anak itu harus diaqiqahi pada hari ketujuh setelah kelahirannya. Bagi seorang muslim biasa, dengan berpegang pada pendapat yang diamalkan oleh mayoritas ulama fikih insya Allah akan lebih menyelamatkan dari kekeliruan. عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ-صلى الله عليه وسلم-قَالَ «كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى» Dari Samurah bin Jundub, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap anak tergadaikan dengan aqiqahnya, disembelihkan untuknya pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama.” (HR.

Pendapat mazhab ini memahami bahwa makna murtahanun/tergadaikan adalah anak tersebut tidak akan bisa tumbuh dan berkembang dengan baik sebelum ia diaqiqahi. Sementara Mazhab Hanafi berpendapat bahwa aqiqah dibolehkan pada hari ketujuh kelahiran anak, setelah memberi nama, mencukur rambut kepala, dan membagikan sedekah. Di antara ulama mereka juga ada yang mengatakan, “Anak tersebut diaqiqahi sebagai ibadah tambahan (Tathawwu’) dengan niat bersyukur atas nikmat Allah.” (Al-Bada i’, 5/59).

Adapun ulama fikih mazhab zahiri semisal Daud bin Ali dan Ibnu Hazm, keduanya berpendapat bahwa aqiqah hukumnya wajib. Pendapat yang menyatakan bahwa aqiqah hukumnya sunnah muakkadah ini ternyata juga banyak diamalkan oleh para ulama kontemporer.

Namun, di sisi lain syaikh Shalih al-Munajjid memberi catatan, meskipun hukum aqiqah adalah sunnah, hendaknya umat Islam tidak meremehkan amalan mulia ini.

Laksanakan Akikah, Apa Hukumnya?

Hukum Pelaksanaan Aqiqah Adalah Sunnah. Pendapat Ini Merupakan Pendapat Madzhab. Laksanakan Akikah, Apa Hukumnya?

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum akikah. Ulama Zahiriyah berpendapat, hukum melaksanakan akikah adalah wajib bagi orang yang menanggung nafkah si anak, maksudnya orang tua bayi.

Mereka mengambil dasar hukumnya dari hadis Rasul SAW yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Tirmidzi. Anak yang baru lahir itu tergadai dengan akikahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari hari kelahirannya, dan pada hari itu juga hendaklah dicukur rambutnya dan diberi nama.".

Sementara itu, jumhur (mayoritas) ulama berpendapat, akikah hukumnya sunah muakkadah. Demikian pendapat Imam Malik, ulama Madinah, Imam Syafii serta para pengikutnya, Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Abu Saur, dan segolongan besar ahli fikih dan mujtahid (ahli ijtihad).

Pendapat ini didasarkan pada sabda Nabi SAW, "Barang siapa di antara kamu ingin bersedekah buat anaknya, bolehlah ia berbuat.". Sementara itu, para fukaha (ahli fikih) pengikut Abu Hanifah (Imam Hanafi) berpendapat bahwa akikah tidak wajib dan tidak pula sunah. Pendapat ini dilandaskan kepada hadis Nabi SAW: "Aku tidak suka sembelih-sembelihan (akikah). Akan tetapi, barang siapa dianugerahi seorang anak, lalu dia hendak menyembelih hewan untuk anaknya itu, dia dipersilakan melakukannya" (HR al-Baihaki).

Hukum Akikah 'Allah Swt Tidak Suka Orang yang Berakikah' : Kabar

Hukum Pelaksanaan Aqiqah Adalah Sunnah. Pendapat Ini Merupakan Pendapat Madzhab. Hukum Akikah 'Allah Swt Tidak Suka Orang yang Berakikah' : Kabar

Akikah adalah penyembelihan (الذبيحة ; sacrifice[korban]) yang dilakukan untuk menyembelih hewan tersebut karena sebab adanya kelahiran. Sebelum disyari’atkannya berkurban (الأضحية) ada dikenal sembelihan dikalangan Arab pada masa itu yang disebut dengan: Alhadyu (الهدي), Akikah (العقيقة), Al’atirah (العتيرة), Alfar’u (الفرع), dll (halaman: 2745, Juz: 4, Alfiqhul Islami wa Adillatuhu oleh Wahbah Zuhaili).

قال روي عن بريدة : أن الناس يعرضون يوم القيامة على العقيقة كما يعرضون على الصلوات الخمس (ص : ٤٨ ، تحفة المولود بأحكام المولود لإبن القيم الجوزية (الإمام شمس الدين محمد بن أبي بكر بن أيوب الزرعي الدمشقي- المتوفى سنة ٧٥١). Makna hadis ini bukan larangan untuk berakikah, melainkan seolah-olah sebutan itu (akikah) kurang disukai (karena dianggap kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang Arab pada masa Jahiliyah sebelum datangnya ajaran Islam).

Berkata Abu Az-Zinad: “Akikah adalah perintah anjuran kepada umat Islam, maka hukumnya “Makruh” jika ditinggalkan.”(Lihat hal, 49, Tuhfatul Wadud Biahkam Almaulud oleh Ibnul Qayyim Aljauziyah). Berbeda menurut Ibnul Qayyim Aljauziyah tentang patungan bersama-sama (المشاركة ; Musyarokah) dalam akikah, menurut beliau kalau akikah sebanyak 7 orang dengan menyembelih satu ekor sapi atau lembu (kerbau) atau unta, maka cara patungan bersama-sama (المشاركة ; Musyarokah) seperti ini diperbolehkan.

وقال الشافعية : تسن لمن تلزمه نفقته (ص : ٢٧٤٥ ، ج : ٤ ، الفقه الإسلامي و أدلته – الأستاذ الدكتور وهبة الزحيلي – دار الفكر المعاصر ، بيروت لبنان .). Adapun anjuran akikah tesebut sebagaimana yang telah diterangkan hukumnya di atas, disunnahkan bagi orang yang memiliki kemampuan, jika sang ayah atau orang yang menafkahinya tidak memiliki kemampuan, maka bagi sanganak boleh mengakikahkan dirinya sendiri kapan saja jika sudah ada memiliki kemampuan, karena Rasulullah Saw mengakikahkan dirinya sendiri dan beliau berakikah setelah dirinya menjadi rasul, sebagaimana sabda beliau di bawah ini,.

Related Posts

Leave a reply