Hukum Aqiqah Setelah Dewasa Nu Online. Pak Ustadz, ada dua hal yang ingin saya tanyakan berkaitan tentang masalah aqiqah. Ketika orang tua melahirkan anaknya, pada saat itu mereka masih dalam kondisi yang kurang mampu, jadi untuk biaya aqiqah tidak ada. Pertanyaan saudara menarik untuk dibahas sebab kasus ini sering terjadi di tengah masyarakat. Kondisi ekonomi seseorang yang kadang kurang menentu turut mempengaruhi pelaksanaan anjuran aqiqah. Sebaliknya bagi orang tua yang perekonomiaannya sedang dalam masa sulit saat kelahiran putra atau putrinya, mereka akan terasa berat melakukan ibadah ini. Setelah itu si anak diperbolehkan memilih untuk melaksanakan sendiri aqiqahnya atau meninggalkannya.
Artinya anjuran aqiqah yang dibebankan kepada orang tua masa aktifnya berakhir ketika sang anak baligh. Dengan demikian niatan mulia orang tua tetap terakomodir, disamping pula anjuran aqiqah juga terlaksana.
Selanjutnya menanggapi pertanyaan kedua, kami merujuk pada kitab al-Majmu’ karya imam Nawawi yang menyebutkan bahwa hukum aqiqah untuk orang lain (bukan dirinya sendiri) adalah boleh selama orang yang diaqiqahi mengijinkan.
Hal ini menurut mazhab Syafii (selama tidak nadzar), serta adanya aktivitas penyembelihan terhadap hewan yang telah memenuhi syarat untuk dipotong. Para ulama memberi kelonggaran pelaksanaan aqiqah oleh orang tua hingga si bayi tumbuh sampai dengan baligh. Apabila mendekati hari raya Idul Adha seperti sekarang ini, maka mendahulukan kurban adalah lebih baik daripada malaksanakan aqiqah.
Adapun referensi yang kami gunakan mengacu pada kitab Tausyikh karya Syekh Nawawi al-Bantani:. Artinya: Ibnu Hajar berkata bahwa seandainya ada seseorang menginginkan dengan satu kambing untuk kurban dan aqiqah, maka hal ini tidak cukup.
Problem ini tentunya tidak perlu dipermasalahkan karena cara pembagian tersebut bukanlah termasuk hal yang subtantif. Kedua cara pembagian daging tersebut adalah demi meraih keutamaan, bukan menyangkut keabsahan ibadah.
Pembahasan kali ini masih melanjutkan pertanyaan dari Saudara Nurgianto yang ada di Lampung Barat. Sebenarnya dalam aqiqah dan kurban ada persamaan di antara kedua ibadah ini, yakni sama-sama sunnah hukumnya menurut mazhab Syafi’i (selama tidak nazar), serta adanaya aktivitas penyembelihan terhadap hewan yang telah memenuhi syarat untuk dipotong.
Para ulama memberi kelonggaran pelaksanaan aqiqah oleh orang tua hingga si bayi tumbuh sampai dengan baligh. Dalam hal ini tentunya melaksanakan aqiqah sendiri lebih baik daripada tidak melaksanakanya.
Apabila mendekati hari raya Idul Adha seperti sekarang ini, maka mendahulukan kurban adalah lebih baik daripada malaksanakan aqiqah. Ada baiknya pula--apabila saudara menginginkan kedua-keduanya (kurban dan aqiqah)--saudara mengikuti pendapat Imam Ramli yang membolehkan dua niat dalam menyembelih seekor hewan, yakni niat kurban dan aqiqah sekaligus. Adapun referensi yang kami gunakan mengacu pada kitab Tausyikh karya Syekh Nawawi al-Bantani:.
Artinya, "Ibnu Hajar berkata bahwa seandainya ada seseorang meginginkan dengan satu kambing untuk kurban dan aqiqah, maka hal ini tidak cukup. Problem ini tentunya tidak perlu dipermasalahkan karena cara pembagian tersebut bukanlah termasuk hal yang subtantif.
Kedua cara pembagian daging tersebut adalah demi meraih keutamaan, bukan menyangkut keabsahan ibadah.
Aqiqahan ialah mengundang tetangga untuk membacakan ayat Al-Quran, zikir, atau maulid Barzanji yang kemudian memotong sedikit rambut bayi oleh sejumlah undangan secara bergantian saat mahallul qiyam. Kata ahli fiqih, aqiqah ialah hewan sembelihan yang dimasak gulai kemudian disedekahkan kepada orang fakir dan miskin.
Sementara sempurnanya, seorang wali tidak dibatasi menyembelih berapa ekor kambing, unta, sapi atau kerbau. Ketentuan aqiqah bagi anak-anak yang sudah balig atau bahkan dewasa, diterangkan Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Fathil Qaribil Mujib berikut,.
Sementara agama memberikan pilihan kepada seseorang yang sudah balig untuk mengaqiqahkan dirinya sendiri atau tidak. Tetapi baiknya, ia mengaqiqahkan dirinya sendiri untuk menyusul sunah aqiqah yang luput di waktu kecilnya.”.
Singkat kata, mereka menanggung sendiri kebutuhan hidupnya, dosa dan pahala yang dilakukan, termasuk untung maupun rugi kalau berusaha.
Bila belum terlaksana sampai melewati hari tersebut, orang tua masih disunnahkan aqiqah untuk anaknya hingga ia mencapai usai baligh. Justru kemudian saat mencapai usia baligh, anak yang bersangkutan diperbolehkan memilih antara mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. Merujuk Keputusan Bahtsul Masail ke-17 Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) Se-Jawa Madura, hukum mengaqiqahi orang tua yang sudah meninggal diperbolehkan bila ada wasiat. Hal ini disamakan dengan hukum berkurban untuknya yang juga seperti itu hukumnya.
“Mengaqiqohi orang tua yang masih hidup hukumnya boleh bila ada izin darinya. Sedangkan mengaqiqohi orang tua yang sudah meninggal dunia hukumnya juga diperbolehkan bila ada wasiat sebagaimana diperbolehkannya melakukan kurban atas nama mayit (menurut sebagian pendapat).” (Keputusan Komisi A Bahtsul Masail ke-17 Forum Musyawarah Pondok Pesantren Se Jawa Madura di PP Nurul Cholil Bangkalan pada 8-9 Jumadal Ula 1429 H/14-15 Mei 2008 M).
Artinya, “Tidak boleh kurban atas nama mayit bila semasa hidupnya ia tidak mewasiatkannya, karena firman Allah yang artinya ‘Bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya’ (an-Najm ayat 39). Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.
(Ustadz Ahmad Muntaha AM, Redaktur Keislaman NU Online dan Founder Aswaja Muda).
Jadi, pada prinsipnya aqiqah merupakan salah satu bentuk taqarrub dan wujud rasa syukur kita kepada Allah SWT, yang dalam konteks ini adalah menyembelih dua kambing jika anak yang lahir adalah laki-laki, dan satu kambing apabila perempuan. Mengenai status hukum aqiqah menurut Zakariya al-Anshari adalah sunnah muakkadah dengan didasarkan kepada sabda Rasulullah SAW sebagai berikut:.
Artinya: Seorang bayi itu tergadaikan dengan aqiqahnya, pada hari ketujuh disembelih hewan, dicukur rambutnya dan diberi nama. Kandungan hadits ini menurut Zakariya al-Anshari adalah anjuran untuk mempublikasikan kebahagian, kenikmatan, dan nasab.
Artinya: Makna yang terkandung dalam hadits tentang aqiqah ini adalah anjuran mempublikasikan kebahagian, kenikmatan, dan nasab. Artinya: Daging aqiqah dibagikan kepada orang-orang fakir-miskin agar berkahnya kembali ke si anak, dan disunnahkan tidak disedekahkan dalam kondisi masih mentah, tetapi sudah matang (siap dimakan). (Taqiyyuddin Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Surabaya-Dar al-‘Ilm, tt, juz, 2, h. 196).
Jawaban atas pertanyaan ini adalah bahwa aqiqah tidak bisa digantikan dengan uang. Dan ini termasuk salah bentuk taqarrub atau ibadah yang status hukumnya adalah sunnah muakkadah.
Namun, bagaimana jika orang tua belum sempat melaksanakan akikah hingga anak-anaknya dewasa? Para ulama juga berbeda pendapat mengenai masalah melakukan akikah untuk diri sendiri setelah dewasa jika belum diakikahkan pada waktu kecil. Sebagian ulama berpendapat, tidak disunahkan bagi seseorang untuk mengakikahkan dirinya sendiri ketika sudah dewasa karena tidak ada dalil sahih yang menunjukkan disyariatkannya seseorang untuk mengakikahkan dirinya setelah dewasa.
Ini adalah pendapat mazhab Maliki dan salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dalam kitabnya Al Masail, Al Maimuni bertanya kepada Imam Ahmad, “Jika orang belum diakikahkan, apakah boleh dia akikah untuk diri sendiri ketika dewasa?” Kemudian, ia menyebutkan riwayat akikah untuk orang dewasa dan ia dhaifkan. Saya melihat bahwasanya Imam Ahmad menganggap baik, jika seseorang belum diakikahkan sewaktu kecil agar melakukan akikah sendiri setelah dewasa. Dan, akikah adalah suatu amalan sunnah muakkadah atau yang sangat ditekankan untuk dilakukan.
Saat dewasa, si anak tersebut ingin berkurban, kemudian timbul sebuah pertanyaan: bagaimana jika aqiqah mereka dibarengkan dengan kurban sekalian, apakah yang demikian sah?Ulama Syafiiyyah berbeda pendapat menyikapi hal ini. Menurut Imam Ibnu Hajar Al Haitami, orang tersebut hanya berhasil mendapatkan pahala salah satunya saja. Sedangkan menurut Imam Romli, ia bisa mendapatkan pahala kedua-duanya.Maksudnya, apabila bertepatan antara tanggal 10-13 Dzulhijjah ada orang yang berkurban sekaligus niat juga beraqiqah dengan hewan yang sama berupa satu kambing (untuk wanita) atau dua kambing (untuk laki-laki) menurut Imam Romli hal ini bisa mendapatkan pahala kurban dan aqiqah. (Ibnu Hajar Al Haitami,, [Darul Fikr], h:127).Jika mengacu pada kutipan Al Hafidz Ibnu Hajar al-‘Asqalani dari para tabi'in dalamberikut ini, jelas bahwa orang yang belum diaqiqahi oleh orang tuanya, kemudian ia menjalankan ibadah kurban, maka kurbannya itu saja sudah cukup baginya tanpa perlu juga beraqiqah.Artinya: “Menurut Abdur Razzaq, dari Ma'mar dari Qatadah mengatakan "Barangsiapa yang belum diaqiqahi maka cukup baginya berkurban".
Menurut Ibnu Abi Syaibah dari Muhammad ibn Sirin dan al-Hasan mengatakan "Cukup bagi seorang anak kurban dari aqiqah"Kesimpulannya, terdapat perbedaan pendapat antara Imam Romli yang memperbolehkan satu hewan dengan diniatkan kurban dan aqiqah serta mendapatkan dua pahala sekaligus.