Pelaksanaan Aqiqah Bagi Orang Yang Bernazar Hukumnya. Dalam Alquran, nazar disebutkan pada surah al-Hajj ayat 29. Dalam hadis yang diriwayatkan Bukhari-Muslim dari Aisyah, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang bernazar untuk taat kepada Allah, hendaklah ia melaksanakannya, dan barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat, maka janganlah (nazar itu) dilaksanakannya.". Syariat membolehkan setiap Muslim untuk bernazar.
Ini dengan ketentuan, nazar tersebut untuk melakukan kebaikan kepada Allah SWT, bukan justru bermaksiat kepada-Nya. Orang yang bernazar tetapi tidak melaksanakan nazarnya--baik sengaja ataupun karena tidak mampu melaksanakannya--maka harus membayar kafarat (denda).
Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah yang berbunyi, "Denda nazar adalah denda sumpah.".
Aqiqah sendiri sebutan untuk rambut yang berada di kepala si bayi ketika ia lahir. Selain itu, tujuan sedekah dalam hukum aqiqah bisa terlaksana.Hal itu berdasarkan hadist riwayat Bukhari yang berbunyi:Arab: عَنْ سَلْمَانَ بْنِ عَامِرٍ الضَّبِّىِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَعَ الْغُلاَمِ عَقِيقَتُهُ فَأَهْرِيقُوا عَنْهُ دَمًا وَأَمِيطُوا عَنْهُ الأَذَى »Artinya: Dari Salman bin 'Amir Adh Dhabbi, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, 'Pada (setiap) anak laki-laki (yang lahir) harus diaqiqahi, maka sembelih lah (aqiqah) untuknya dan hilangkan gangguan darinya.'.
Tata cara aqiqah dilakukan pada hari ketujuh. Namun, bila waktu dianjurkan hukum aqiqah (hari ketujuh) keluarga dalam keadaan fakir, maka tidak diperintahkan untuk aqiqah.
Begitu juga tidak sah bernazar akan melakukan sesuatu yang wajib atau fardhu ‘ain baginya, seperti bernazar akan melakukan shalat lima waktu. Seperti bernazar akan bersedekah kepada fakir miskin, bernazar akan menshalati jenazah fulan, dan contoh hal-hal sunnah dan fardlu kifayah yang lain. Efek dari pelaksanaan sebuah nazar adalah perkara yang asalnya dihukumi sebagai sunnah atau fardhu kifayah menjadi hal yang wajib baginya.
Misalnya, perkataan “Saya bernazar akan puasa pada hari Senin dan Kamis”, “Jika saya peringkat satu, saya akan memberi hadiah pada ibu”, dan perkataan-perkataan lain yang mengandung sebuah kepastian untuk melakukan suatu hal.
Para ulama sepanjang zaman pun sepakat ibadah haji hukumnya fardu ain bagi umat muslim yang telah memenuhi syarat wajib, yakni Islam, balig, berakal, merdeka, dan berkemampuan. Minimal ibadah haji dilaksanakan sekali seumur hidup. Wajib di sini bukan hanya terbatas untuk yang berhaji pertama kali, tetapi juga karena adanya nazar, qadha atau karena murtad dan kembali lagi masuk Islam.
Seorang yang cukup syarat dan belum pernah berhaji sejak balig, maka dia wajib untuk pertama kalinya melaksanakan ibadah haji. Kendati haji kedua dan seterusnya bagi yang bersangkutan hukumnya sunah, namun jika sudah bernazar maka menjadi wajib baginya kembali melaksanakan rukun Islam kelima ini.
Namun meski dalam ilmu fikih hukumnya haram, bila ibadah haji yang dikerjakannya lengkap dan semua syarat dan rukunnya terpenuhi, ibadah hajinya tetap sah dan secara hukum menjalankan ibadah hajinya gugur.