Hukum Aqiqah Anak Yg Meninggal Dlm Kandungan. Fitroh perempuan adalah mengandung dan melahirkan seorang bayi. Berapapun umur kandungan itu, ketika telah terlahir ke dunia dianjurkan (sunnah) bagi kedua orang tuanya untuk memberikan nama, aqiqah dengan dua ekor kambing bila sang bayi laki-laki dan satu ekor bila perempuan.
Namun, jika bayi tiu sempat menghirup kehidupan setelah dilahirkan meskipun hanya beberapa saat maka disunnahkan bagi orang tuanya untuk memberikan nama dan aqiqah kepadanya.
Janin dalam kandungan seorang ibu bisa saja meninggal sewaktu-waktu karena satu dan lain hal seperti keguguran ataupun lahir mati (stillbirth). Apakah boleh melakukan tindakan untuk mempercepat kematian sang janin dalam kandungan ibu yang sudah meninggal?
Namun, bila janin yang keguguran itu telah berusia empat bulan, maka ia wajib dimandikan, dikafani, dan dikebumikan. Berbeda halnya jika setelah keluar sang janin bergerak atau bersuara, maka ia wajib dishalatkan (selain dimandikan, dikafani, dan dikebumikan).”. Janin yang keguguran pada usia di atas empat bulan, tidak terlihat hidup, tidak pula terlihat tanda-tanda hidup, namun tampak rupa dan kesempurnan fisiknya, maka jenazahnya wajib dimandikan, dikafani, dan dikuburkan. Sebagaimana yang diungkap oleh Syekh Nawawi dalam Nihayah al-Zain, hal ini berlaku meskipun saat keguguran usianya masih di bawah empat bulan. Dengan catatan sang janin diharapkan bisa hidup berdasarkan hasil pemeriksaan bidan, dokter, atau petugas medis lainnya. Jika janin yang ada dalam rahim sang ibu tidak diharapkan bisa hidup, maka haram membedahnya.
Para wanita mungkin masih bertanya tanya tentang apakah hukum dan keutamaan aqiqah bagi janin yang keguguran. Dalam ulasan kali ini, kami akan membahas secara tuntas tentang aqiqah apabila janin dalam kandungan meninggal saat usia kandungan masih sangat muda dengan ukuran yang sangat kecil namun detak jantung sudah mulai bisa dirasakan dan apa yang harus dilakukan saat janin keguguran.
Al-‘Abdariy berkata jika janin yang keguguran belum genap 4 bulan maka tidak disholati tanpa ada perbedaan pendapat yakni ijma. Namun, jika wujud janin sudah menyerupai manusia seperti terdapat kepala, kaki, tangan dan bagian lainnya, maka sang ibu berlaku hukum nifas, tidak boleh shalat dan juga puasa, sedangkan untuk janin akan dianggap sebagai anak kecil dan bisa dikuburkan dimana saja tanpa perlu dimandikan serta tidak perlu memanjatkan doa menguburkan jenazah, dishalati sebab tidak dihukumi manusia. Beliau berkata apabila janin tidak memiliki tanda kehidupan maka tidak perlu disholati menurut Hanafiyyah Malikiyah, Auzal dan Hasan al Bashri jika Nabi sholallahu alaihi wa salam bersabda, “jika janin yang gugur menangis, maka disholati dan mendapatkan warisan”. Syaikh DR. Abdullah Faqih berkata, “Kami senang untuk menjelaskan kepada penanya tentang janin yang belum dikhitan.
Jika keguguran yang terjadi sesudah hari ke 80 dan tidak diketahui apa janin sudah berbentuk manusia atau belum, maka terdapat 2 kemungkinan dalam hal ini.
Selain itu, ketika orang tua melakukan akikah untuk anaknya, maka anak tersebut bisa memberikan syafaat kepada orang tuanya nanti di akhirat. Ibnul Qayyim Aljauziyah dalam kitabnya Zadul Ma’ad mengutip perkataan Imam Ahmad bahwa maksud “tergadai” dalam hadis di atas adalah anak tidak bisa memberikan syafaat kepada orang tuanya.
Jika orang tua tidak melakukan akikah untuk anaknya, maka anak tersebut tidak bisa memberikan syafaat nanti di akhirat. Dengan demikian, jika anak telah dilahirkan, maka orang tua disunahkan melakukan akikah untuknya, baik anak tersebut masih hidup atau sudah meninggal.
Tentunya hal tersebut akan menimbulkan dampak yang harus ditanggung sendiri oleh pihak wanita yaitu trauma psikis untuk korban pemerkosaan dan kehamilan yang tidak diharapkan untuk kedua kasus tersebut. Keadaan seorang perempuan berzina ini bisa dikategorikan akibat pengaruh dari pergaulan bebas sehingga ia melakukan perbuatan yang melanggar batas-batas susila seperti melakukan seks non marital (di luar nikah).
Berdasarkan kesepakatan ulama, anak yang terlahir berdasarkan hasil dari hubungan sexual non marital, maka status anak tersebut nantinya dinasabkan sebagai anak ibu dan tidak dinasabkan kepada bapak biologisnya. Kemudian yang berhak menjadi wali nikah ketika ia menikah nantinya adalah wali hakim, karena ia tidak dapat dinasabkan kepada bapak biologisnya.
Apabila terjadi sumpah li’an antara suami dengan istri. Status dari anak yang dilahirkan pada kondisi ini adalah dinasabkan pada ibunya karena suami mengucapkan sumpah li`an dan tidak mengakui anak tersebut sebagai anaknya. Sehingga yang berhak menjadi wali nikah anak perempuan tersebut nantinya adalah ayahnya (suami dari ibunya).
Apabila seorang wanita berhubungan sexual di luar nikah, kemudian hamil dan dinikahi oleh lelaki yang menghamilinya. Meskipun demikian laki-laki tersebut tetap dapat dikatakan sebagai bapak biologis anak tersebut, akan tetapi tidak dapat dinasabkan kepada bapak biologisnya.
Oleh karenanya, yang berhak menjadi wali nikah ketika anak perempuan tersebut menikah adalah wali hakim, karena statusnya hanya sebagai anak ibu sekalipun bapak biologisnya menikahi ibunya. Sehingga berdasarkan pasal 53 Kompilasi Hukum Islam yang harus difahami adalah keabsahan nikah hamil, tetapi tidak berdampak pada anak yang diakibatkan nikah karena hamil.
Apabila hanya suami yang mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepadanya sehingga yang berhak menjadi wali nikah anak tersebut adalah wali hakim dan hak kewarisan hanya timbul antara ibu dan anak. Apabila hanya istri yang mengetahui fasid/batilnya pernikahannya, maka anak tersebut tetap dinasabkan kepada suaminya sehingga yang berhak menjadi wali nikah anak tersebut adalah suami dan hak kewarisan timbul olehnya. Selanjutnya apabila ayah biologis dari anak luar kawin yang tadinya tidak mau bertanggungjawab, kemudian hari ia ingin mengakui anak tersebut secara hukum dan ingin namanya tertera dalam akta kelahiran anak tersebut, maka apakah ia dapat mengajukan permohonan ke muka pengadilan agama agar pengakuannya tersebut dapat dianggap sah secara hukum?
Dalam kondisi ini, ayah biologis dari anak luar pernikahan tidak dapat mengajukan permohonan ke pengadilan agama, karena anak yang terlahir oleh karenanya adalah anak hasil hubungan sexual non marital, sehingga hanya dinasabkan kepada ibunya saja. Sehingga meskipun secara hukum, ayah biologis tidak bisa mendapatkan pengakuan secara hukum bahwa ia adalah ayah dari anak tersebut, ia masih bisa memberikan nafkah kepada anak tersebut dan memberikan harta waris melalui wasiat wajibah.
Berbeda dengan kasus anak yang terlahir di luar pernikahan yang sah secara hukum, dalam artian ini adalah anak hasil pernikahan siri / di bawah tangan seorang perempuan dan seorang laki-laki yang keduanya tidak terikat perkawinan yang sah dengan perempuan/laki-laki lain.