Daging Aqiqah Orang Kafir Makan. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA--Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Fiqih Bayi bahwa dalam Jami-Nya, yang disedekahkan dan dihadiahkan dari aqiqah, Imam Khallal berkata, Abdullah bin Ahmad telah menggambarkan kami bahwa ayahnya berkata, "aqiqah itu boleh dimakan dan sebagian lainnya dihadiahkan.". Imam Maimun yang berkata, "Saya pun pernah bertanya kepada Abu Abdullah tentang aqiqah dimakan orang yang beraqiqah.".
Dia menjawab, "Ya, sebagainya boleh dimakan.". Saya bertanya pula, "Samakan aqiqah dengan qurban dalam soal memakannya"? Dia berkata Imam Al-Astram menceritakan kepadaku bahwa Abu Abdullah pernah ditanya tentang boleh tidaknya sebagian aqiqah disimpan seperti kurban. Dia menjawab. Saya lihat dia berkata "Ya. Dia berkata "Ja'far bin Muhammad telah menceritakan kepada kami dari ayahnya bahwa Nabi SAW menyuruh mereka mengirimkan kaki binatang aqiqah kepada bidan.
Daging aqiqah atau qurban atau mana-mana bahagian dari binatang (seperti kulit, tulang dan sebagainya) tidak boleh dijadikan upah kepada orang yang menyembelih dan orang-orang yang menguruskan pemotongan. Orang kafir tidak boleh diberi makan daging aiqah atau daging qurban, sekiranya telah diberi umpamanya sekilo, maka wajib diganti dengan daging yang lain untuk memenuhi daging yang kurang itu.
Daging atau mana-mana bahagian dari binatang qurban nazar atau aqiqah, haram dimakan atau diambil oleh orang yang melakukannya seperti yang dijelaskanhttp://members.tripod.com/tanbihul_ghafilin/qurbandanaqiqah.htm.
Tapi, apabila memberikan daging kurban untuk umat agama lain seringkali menjadi perdebatan antara para ulama. Mengutip dari Nu Online, ada dua pendapat yang membicarakan tentang hukum memberikan daging kurban kepada umat agama lain.
Pendapat pertama, beberapa ulama mutlak tidak memperbolehkan memberikan daging kurban untuk umat agama lain. Akan tetapi menurut pendapat ketentuan Madzhab Syafi’i cenderung membolehkanya,” (Lihat Syamsuddin Ar-Ramli, Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj, Beirut, Darul Fikr, 1404 H/1984 M, juz VIII, halaman 141). Tetapi harus dibaca dalam konteks umat agama lain yang bukan harbi (tidak memusuhi Islam).
Nihayatul Muhtaj ila Syarhil Minhaj. Karena memang berkurban itu sendiri sangat dianjurkan.Jika seorang Muslim berkurban dan membagikan dagingnya kepada orang miskin dan para tetangga yang sama-sama Muslim, maka hal itu adalah hal yang biasa dan tidak menjadi persoalan.Yang menjadi “gegeran” para ulama adalah ketika daging kurban itu juga diberikan kepada orang non-Muslim.
Dari sini dapat dipahami bahwa orang fakir atau orang (kaya, pent) diberi yang kurban tidak boleh memberikan sedikitpun kepada orang kafir. Sebab, tujuan dari kurban adalah memberikan belas kasih kepada kaum Muslim dengan memberi makan kepada mereka, karena kurban itu sendiri adalah jamuan Allah untuk mereka.
Konsekuensi logis dari cara pandangan seperti adalah tidak diperbolehkan memberikan daging kurban kepada non-Muslim.Adapun argumentasi yang dibangun untuk meneguhkan pandangan yang memperbolehkan untuk memberikan daging kurban kepada orang non-Muslim adalah bahwa berkurban itu merupakan sedekah. Sedangkan tidak ada larangan untuk memberikan sedekah kepada pihak non-Muslim.Namun kebolehan memberikan daging kurban kepada non-Muslim tidak bisa dipahami secara mutlak.
Dan bukan kurban wajib, tetapi kurban sunah.Dengan kata lain, diperbolehkan memberikan sedekah—termasuk di dalamnya memberikan daging kurban—selain kepada kafir harbi (non-Muslim yang memerangi atau memusuhi umat Islam).Artinya, “Pasal: dan boleh memberikan makan dari hewan kurban kepada orang kafir. Sedang menurut kami, itu adalah makanan yang boleh dimakan karenanya boleh memberikan kepada kafir dzimmi sebagaimana semua makanannya, (Lihat Ibnu Qudamah,, Beirut, Darul Fikr, cet ke-1, 1405 H, juz XI, halaman 105).Dari penjelasan di atas, kita dapat mentarik kesimpulan bahwa dalam soal hukum memberikan daging kurban kepada non-Muslim ada dua pendapat. Ada yang melarang secara mutlak, dan ada yang membolehkan tetapi dengan syarat bukan kurban wajib dan penerimanya bukan kafir harbi.Demikian jawaban yang dapat kami kemukakan.
Halal-Haram Makanan (Daging). Termasuk makanan yang dihalalkan ialah sembelihan Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nasrani).
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Jadi apabila yang saudara maksudkan berpindah-pindah dari suatu negara ke negara lain itu adalah negara yang berpenduduk Ahlul-Kitab (Yahudi dan Nasrani), maka tidak mengapa memakan sembelihan mereka asal binatang tersebut dihalalkan (seperti sapi, kambing, ayam dan lainnya), bukan yang diharamkan (seperti babi, anjing dan lainnya), dengan tetap membaca basmalah sebelum memakannya.
Dalam hal ini, karena sudah ada nash (ayat) al-Quran dan hadits di atas, maka tidak perlu menganalogikan sembelihan mereka dengan binatang buruan. Perlu kami sampaikan bahwa pada rubrik Fatwa Agama Majalah Suara Muhammadiyah No.
Namun perlu ditekankan di sini bahwa walaupun sembelihan mereka itu halal, kita tetap perlu berhati-hati karena mereka seringkali mencampurkan binatang sembelihan yang halal dengan yang haram, atau paling tidak mereka memasak keduanya itu dengan alat masak yang sama secara bergantian tanpa mensucikannya terlebih dahulu, yang menyebabkan tercampurnya makanan yang halal dengan makanan yang haram. Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah (yang mengalir), daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala.” [QS.